“Perempuan, Antara Kehidupan Sosial dan Politik”


 
A.    DASAR PEMIKIRAN
Budaya patriarki merupakan sumber utama dimana ketidakadilan gender terhadap perempuan menjadi realitas yang sangat merugikan, baik dalam bentuk violence, stereotype, subordinasi, marginalisasi maupun double burden.

Budaya patriarki telah mendasari bagaimana relasi sosial yang terbentuk baik dari perspektif “kelas” ataupun yang lainnya menjadikan posisi dan representasi kehadiran serta kepentingan perempuan mendapatkan perlakuan yang tak setara dibandingkan kaum laki-laki. Narasi besar kondisi patriarkal ini mewujud pada struktur-struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam realitas sosial dan telah dilanggengkan secara dominatif maupun hegemonik untuk mem-pertahankan “kekuasaan”  tersebut.
Memasuki era kesetaraan gender, stigma-stigma politik itu maskulin atau politik itu adalah “dunianya laki-laki” seharusnya tidak lagi relevan. Sudah saatnya perempuan tidak lagi hanya sebatas menjadi penonton panggung politik, melainkan ikut terlibat menjadi aktor di dalamnya. Affirmative action melalui kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan di legislatif contohnya, dapat menjadi pintu masuk yang mendorong partisipasi perempuan di ranah politik. Pada intinya, signifikansi keterlibatan perempuan di ranah politik adalah berdasarkan adagium politik : politic is personal, yaitu bahwa politik adalah sesuatu yang personal dan dekat dengan keseharian kita.

MENANTI DKD DALAM KEBUDAYAAN JEPARA


Tulisan ini saya persembahkan untuk kawan-kawan, saudara-saudara dan sedulur-sedulur pegiat, pelaku seni budaya Jepara. Tulisan ini dibuat persis setelah pelantikan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Jepara resmi dilantik oleh Sekda Kabupaten Jepara, ir. Sholih di Pendopo Kabupaten Jepara. ke sajaungkinan besar ketika kata-kata ini disusun dengan sederhana, rangkaian acara pelantikan yang diselenggarakan oleh panitia masih berlanjut. Meskipun tidak secara utuh mengikuti rangkaian acara sampai selesai bukan berarti data sebagai rujukan valid untuk menuangkan dan menjelaskan kemana arah tulisan ini bermuara kiranya dianggap cukup apa yang ditulis nanti menjadi pertimbangan atau -hanya sekedar- gambaran apa yang musti dilakukan pasca pelantikan. Bukan bermaksud menggurui para profesional seni budaya, namun bukankah menerima sebuah kebenaran, menerima saran dan kritik dengan rendah diri menserminkan kedewasaan pola pikir?


KOMPENSASI BBM, SOLUSI TANPA PRESTASI ??


Memang benar, tidak ada issu yang paling gencar, menarik dan heboh diberitakan oleh media massa (elektronik dan cetak) nasional manapun di ndonesia dan menjadi bahan yang penting diperbincangkan oleh masyarakat segala kelas kalau tidak masalah kenaikan harga BBM (Bahan bakar Minyak). Wajar saja fenomena tersebut terjadi karena BBM merupakan komoditi dasar yang menjadi bahan terpenting dalam menentukan kebutuhan pokok masyarakat indonesia atau dunia.
Tanpa mengesampingkan betapa besarnya manfaat BBM dalam kehidupan sehari-hari, kiranya ada hal yang sangat urgen untuk didiskusikan dalam kesempatan ini, yaitu keputusan Pemerintah dengan dukungan DPR melalui voting pengesahan RAPBN-P 2013 yang sekaligus menandai bahwa subsidi BBM telah dicabut, artinya bahwa secara otomatis harga BBM akan  naik dengan kisaran untuk premium naik Rp.2.000, dari Rp.4.500 menjadi Rp. 6.500 dan solar Rp.1.000 dari Rp.4.500 menjadi Rp.5.500. Kabar terkait naiknya harga BBM Nasional memang  sudah  beberapa bulan terakhir bergulir ditengah-tengah masyarakat –terlebih kelas bawah- yang juga menjadi bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran massal. Ironisnya  sampai saat ini pun (19/07) pemerintah masih terkesan ragu karena belum mampu menetapkan kapan waktu yang tepat untuk menaikkan harga BBM. Dengan demikian maka sekali lagi masyarakat kelas bawah seakan diombang-ambingkan, dibuat galau oleh Pemerintah dan DPR dengan kebijakan yang tidak prorakyat. Alasan inilah yang kemudian mengapa issu terkait dengan kenaikan harga BBM masih hangat dan relevan untuk dibahas.

PMII 'anti' KRITIK??


Terdapat fenomena yang sangat mengagetkan sekaligus memprihatinkan jika kita melihat terjadinya aksi demonstransi yang dilakukan oleh aktivis PMII dari Rembang, Pati, Kudus, Demak, dan Jepara yg tergabung dalam aliansi PMII Pantura Raya. Dengan semangat berapi-api yang penuh dengan gugatan dan tuntutan yang ditujukan pada Bupati Rembang, Much. Salim dengan menggelar aksi blokade jalan pantura di depan gedung Pemkab Rembang pada hari Senin, 3 Mei 2013 lalu.

REVITALISASI ISLAM; TINJAUAN FIRKOH, ISLAM KULTURAL & STRUKTURAL


Toleransi umat beragama, amar ma’ruf nahi mungkar dan ajaran-ajaran kebaikan yang dibawa setiap agama terlebih agama Islam merupakan suatu konsep ajaran yang sangat penting  sebagai alat untuk menjalani kehidupan sehari-hari. kewajiban sebagai seorang muslim yang berpikir dan bertanggungjawab  dalam urusan keagamaan dan sosial adalah berupaya untuk mengamalkannya. Dari proses pengamalan tersebutlah maka muncul beragam sekte, golongan, madzhab sebagai respon atas perbedaan menginterpretasikan ajaran yang dibawa oleh sebuah agama tertentu, tidak terkecuali adalah Islam. Dalam faktanya justru agama Islam lah yang kemudian tampil sebagai agama yang paling banyak menelurkan madzhab, baik yang mengusung ideologi liberalis, modernis, literalis sampai pada radikalis.

MENGGALI DASAR HUKUM HAJI DAN UMROH


Suatu Pengantar
Ibnu Umar (Radhi allahu anhum) berkata: "Rasulullah (sallallahu alaihi wa-sallam) berkata:" Islam dibangun di atas lima (pilar): bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad (sallallahu alaihi wa-sallam ) adalah utusan Allah, mendirikan salat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan. "[Shahih Al-Bukharee dan Shahih Muslim]. Menurut sebagian besar ulama Haji diundangkan pada tahun kesembilan Hijrah (Nabi migrasi dari Mekah ke Madinah), yang berarti tahun Delegasi (al-Wufood), di mana ayat Surah Imran (3): 97: "Haji ke Baitullah merupakan kewajiban bahwa umat manusia berutang kepada Allah untuk mereka yang mampu membayar perjalanan" diturunkan.

KEKELIRUAN DALAM BERPIKIR (Kajian Ilmu Logika)


Sekapur Sirih Tentang Logika
            Meskipun disadari, definisi tidak  pernah dapat ditampilkan dengan  sempurna. Pengertian maupun maksud dari sesuatu yang dikandungnya, disamping setiap orang selalu berbeda gaya dalam mendefinisikan suatu masalah, pada setiap penyelidikan permulaan suatu ilmu sudah lazim dibuka dengan pembicaraan definisinya. Kebijaksanaan ini ditepuh, mengingat bahwa dalam keanekaragaman itu terdapat persamaan - persamaan prinsip yang dapat mengantarkan kepad garis besar masalah. Karena itu definisi yang bertugas sebagai pembuka pintu tidak tidak mengandung bahaya selama kita memandangnya sebagai tempat pengenalan semantara yang dapat digeser kearah kesempurnaan lebih lanjut.

PSIKOLOGI DAKWAH (Tinjauan Persepsi)


Mengingat bermacam – macam tipe manusia (mad’u) yang dihadapi da’i dan berbagai jenis antara dia dan mereka serta berbagai kondisi psikologis mereka, setiap da’I yang mengharapkan sejuk dalam aktivitas dakwahnya harus memperhatikan kondisi psikologis dari mad’u.
Kalau kita perhatikan perbedaan  gaya dakwah nabi sebelum dan sesudah hijrah, sewaktu di makkah atau pun di madinah tampaknya salah satunya disebabkan oleh berbedanya keaaan psikologis kelompok – kelompok yang didakwahi.
Muhammad Natsir dalam bukunya “Fiqh Dakwah” mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan kondisi psikologis mad’u ini, bahwa: pokok persoalan bagi pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu keadaan dan nuansa tertentu.

“HILANGNYA JATI DIRI DAN OBJEKTIVITAS MEDIA MASSA DI ARUS GLOBALISASI”


Mengintip Globalisasi
Sekarang ini kita menikmati kelimpahan informasi yang luar biasa. Hal ini tentu berkait dengan makin banyak, beragam, dan cangginhnya industri media informasi dan komunikasi, mulai cetak hingga elektronik, menawarkan berita dan sensasi. Disisi lain kita melihat kebebasan yang dimiliki oleh penggiat media dalam berbagai pemberitaanya. Kita tentu saja dibuat bingung oleh banyaknya berita yang diproduksi. Hal itu tidak lain karena berita yang disajiakan tiap kali berbeda-beda bahkan berlawanan, belum lagi terkadang kita juga dibuat kaget oleh kemunculan berita yang tampak tiba-tiba, asing dan berani (Eriyanto, 2001: V).

PEMBEHARUAN ISLAM (Suatu Analisis Kritis Pemikiran Muhammad Abduh)

Pemikiran pembaharuan di  dunia islam umumnya berpangkal pada asumsi bahwa islam sebagai realitas social pada lingkungan tertentu tersebut sudah tidak relevan lagi dengan dinamika maupun tuntunan zaman. Pola pembaharuan itu mengambil bentuk yang berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Karena corak  epistemology  yang beragam maka melahirkan aneka model pembaruan yang biasanya ditipologikan dengan reformisme, modernisme, puritanisme, fundamentalisme, sekuralisme dan neo- modernism.
Perkembangan modernism dalam dunia islam menemukan momentum nya pada abad ke 19 meskipun dasar – dasarnya sudah muncul beberapa abad sebelumnya. Momentum  yang dimaksud adalah adanya gerakan politik dan intelektual yang mulai menjamah keberbagai kawasan negeri-negeri islam. Tema gerakan – gerakan itu umunya berkisar pada dua hal, protes melawan kemerosotan internal dan serangan eksternal. Kebangkitan itu bukan berarti bahwa islam dalam kondisi pasif untuk menghadapi perubahan demi perubahan yang terjadi. Pada kenyataannya suatu peradaban tidak lain adalah hasil akumulasi perjalanan pergumulan pemeluk agama yang berdimensi historis dengan ajaran wahyu yang bernilai normative.

MEMAKNAI ULANG TOLERANSI BERAGAMA

Belakangan ini, agama adalah sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa nama agama (mengatasnamakan agama) sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan.
Tidak lepas dari fakta diatas, kita juga kerap kali melihat konflik ditengah – tengah masyarakat yang menimbulkan korban kemanusiaan yang begitu besar. Masih segar dalam ingatan kita tentang kasus-kasus kerusuhan antar etnis dan terlebih agama yang seolah semakin hari semakin tidak jelas solusi yang ditawarkan. Hal serupa dapat juga kita lihat pada level Internasional, seperti kasus pengeboman WTC, 11 Nopember 2001, yang telah menelan korban begitu besar.[1]

KONSEP CIVIL SOCIETY


SEKAPUR SIRIH PENGANTAR
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.

KULTUR INTELEKTUAL HARGA MATI BAGI MAHASISWA


Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak ragam dan kaya akan kebudayaan, bahkan dapat dikatakan Negara yang paling kaya akan kebudayaannya. Namun semua itu dapat tercover dalam pancasila dan bhineka tunggal ika meskipun hanya sebatas ideology. Terlepas dari semua kebudayaan yang mewarnai Indonesia, ada satu budaya yang belum dimiliki oleh bangsa ini yang sebenarnya sangat urgen dalam kelangsungan kedaultan sebuah negara, yaitu budaya intelektual (membaca, menulis sampai pada diskusi). Ironis memeng, sebuah Negara yang mempunyai kekayaan kebudayaan dan SDA yang berlimpah tidak dibarengi dengan pengembangan potensi SDM dengan  maksimal.

MENGAWAL HAJAT BESAR JATENG


Jawa Tengah merupakan salah satu Provinsi yang mempunyai potensi sumber daya alam yang  marketable. Begitu juga dengan  sumber daya manusianya. Namun, meskipun demikian, potensi alam yang menjanjikan serta SDM yang mendukung tidaklah dapat menjadikan Jateng menjadi Provinsi yang mampu bersaing dalam berbagai sector tanpa pengelolaan yang baik, tepat dan cerdas karena   masih ada beberapa tempat yang perlu diperhatikan secara intensif agar mampu bangkit menampilkan jati diri dengan budaya local masing-masing dalam rangka bangkit dalam ketertinggalan dari wilayah lain.
Pada tahun 2013, sebenarnya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mempunyai dua agenda besar yang wajib diselesaikan dan dikerjakan dengan penuh keseriusan dan kahati-hatian, pertama adalah hajat potensial dalam meningkatkan pendapatan daerah yang sering dikenal dengan istilah Visit Jateng. Tujuan Visit Jateng pada dasarnya adalah untuk memperkenalkan potensi alam yang dimiliki Jawa Tengah kepada  seluruh masyarakat dunia yang secara keseluruhan bergerak dalam bidang pariwisata.

PROFIL TANAH AIR KU (Ds. LEBAK PAKIS AJI JEPARA JATENG)


Kabupaten Jepara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang beribukota di Jepara. Secara geografis Kabupaten Jepara terletak pada posisi 110° 9 48, 02 sampai 110° 58 37,40 Bujur Timur, 5° 43 20,67 sampai 6° 47 25,83 Lintang Selatan, sehingga merupakan daerah paling ujung sebelah utara dari Provinsi Jawa Tengah.
Secara administratif wilayah seluas 1.004,132 km² tersebut terdiri atas 16 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah 194 desa dan 11 kelurahan. Salah satunya adalah desa Lebak Kecamatan Pakis Aji yang secara Geografis berbatasan dengan empat wilayah yang terdiri dari beberapa Desa tetangga. Batas sebelah Utara berbatasan dengan Desa Guyangan dan Suwawal Timur, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tanjung dan Plajan, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kecapi dan Bringin, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bulungan.

JAWABAN ATAS REALITAS “kegalauan” MAHASISWA KPI JEPARA


Terdapat fenomena yang unik sekaligus menarik untuk segera diperdebatkan ketika menakar kualitas masing-masing program studi PT. Ada yang secara vulgar menuduh prodi tertentu paling baik dengan segala keunggulannya, sementara prodi yang lain menjadi prodi yang disorientasi dan tak layak jual tentu dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Asumsi atuapun pendapat memang bersifat subjektif, namun ketika suatu asumsi itu tidak memiliki landasan dasar yang ilmiah maka dapat dikatakan ngawur. Seperti halnya ketika kita membincang mengenai kualitas fakultas dakwah. Tidak sedikit masyarakat  menganggap bahwa mahasiswa fakultas dakwah tidak jelas arah kompetensinya, banyak pula mahasiswa diluar fakultas dakwah yang menjastis bahwa lulusan fakultas dakwah tidak layak jual (marketable) yang pada intinya asumsi-asumsi tersebut secara tidaklangsung memarjinalkan dan memandang sebelah mata fakultas dakwah. Semua anggapan itu tidak ada salahnya memang, namun juga tidak sepenuhnya benar dan dibenarkan karena dalam menilai sesuatu harus memandang keadaan objek kajian secara objektif terlebih dahulu.

PENDIDIKAN BERBASIS EMANSIPATORIS DAN PARTISIPATORIS (PUBLIKASI KARYA ILMIAH)


Menyikapi sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah,  sudah barang tentu  mencuat berbagai pendapat dan sikap, baik yang berpendapat setuju maupun tidak setuju dengan beragam alasan dan dasar masing-masing karena pendapat bersifat subjektif. Begitu juga ketika menyikapi  surat edaran bernomor 152/E/T/2012 terkait publikasi karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pada tanggal 27 Januari 2012 lalu.
Dalam surat edaran tersebut dijelaskan beberapa ketentuan dan  syarat kelulusan bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 yaitu  publikasi karya ilmiah dengan ketentuan; Sarjana (jurnal ilmiah), Magister (jurnal ilmiah nasional), dan Doktor (jurnal ilmiah internasional). Dalam hal ini tentunya sudah jelas apa maksud dari Ditjen Dikti, yaitu berusaha meningkatkan kualitas pendidikan nasional yang selama ini terbilang terbelakang dibandingkan Negara tetangga indonesaia, contoh saja Malaysia dalam konteks produksi karya ilmiah maupun proses pendidikan secara universal.

AKTIVIS DAN AKADEMIKUS PUNYA TANGGUNGJAWAB SAMA

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,2002), pengertian aktivis adalah individu atau sekelompok orang (terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, perempuan) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Sedangkan akademikus adalah orang yang berpendidikan perguruan tinggi/anggota akademi. Artinya, dari defenisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa aktivis dengan akademikus merupakan satu kesatuan untuk mengemban amanat dalam mensukseskan pendidikan nasional yang sampai hari ini masih membutuhkan perhatian serius.
Meskipun saat kita mendengar kata aktivis, persepsi yang pertama muncul dalam benak terkadang memahami bahwa aktivis adalah sosok orang yang kritis, idealis, lama lulus, jarang kuliah dan kerjaannya demo dan ngomongin politik. Bertolak 1800 ketika dihadapkan dengan akademikus yang sering dipahami sebagai seseorang yang hanya mementingkan study oriented yaitu orang-orang yang mementingkan kuliah dan kurang berminat bergabung dengan organisasi. Dan bersifat hedonis yang dikenal sebagai anak-anak yang mementingkan kenikmatan dan kesenangan.

MELURUSKAN PARADIGMA MASYARAKAT TERHADAP FAKULTAS DAKWAH (KPI)


Sekapur Sirih Realitas Dakwah
Alfin Toffler penulis buku ”the third wave” secara ringkas membagi fase kehidupan ini yang benar-benar berbeda dengan pemetaan yang lazimnya dilakukan para sejarawan. Menurut Toffler paling tidak pada tiga tahapan gelombang yang telah dilalui dalam kehidupan ini, yaitu gelombang pertama bersifat agrikultural; gelombang kedua bersifat industrial; dan gelombang ketiga bersifat teknologikal. Apa yang disebut Toffler dengan gelombang ketiga ini benar-benar semakin nyata dalam kehidupan kita sebab kehidupan kontemporer benar-benar telah memasuki “zona mabuk teknologi” meminjam istilah John Nasibitt. Artinya, hampir dapat dipastikan tidak ada lagi sisi kehidupan ini yang tidak sepenuhnya tergantung pada kekuatan teknologi sebagai media teknisnya.
Kenyataan yang demikian tentu saja telah memaksa kita umat Islam untuk berpikir ulang tentang masa depan kehidupan kita, terutama yang berkaitan langsung dengan aspek dakwah yang merupakan ”denyut nadi” dari Islam itu sendiri. Apakah konsep dakwah kita selama ini mampu melawan atau paling tidak mengimbangi kemajuan tersebut, atau malah disebabkan ketidak mampuan kitalah untuk menyeimbangkan kemajuan ini yang menyebabkan dakwah kita hampir dapat disebut tidak memberi makna sama sekali bagi kehidupan. Jika demikian, tentu saja ada yang bermasalah dalam teknis dakwah kita, apakah para da’i-da’i kita alpa untuk melaksanakan tugasnya?

NEPOTISME NU, WARISAN SEJARAH ATAU SISTEM TERSTRUKTUR?


Pengertian pendidikan Islam menurut M. Fadhil al-Jamali dalam bukunya yang berjudul Falsafah Pendidikan dalam Al-Qur’an sebagaimana dikutip oleh Ali Murtadlo adalah sebuah upaya untuk mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan (Ali Murtadlo:2012).
Arthur Berstor dalam sebuah tulisannya yang berjudul Dasar-Dasar Pendidikan menjelaskan Fungsi utama pendidikan sekolah adalah sebuah agen pelatihan intelektual yang menentukan dan berkaitan dengan sumbangan khasnya pada umat manusia (Paulo Freire,et.al: 2009).
Sementara itu, Jusuf A. Faisal lewat tulisannya yang berjudul Beberapa Langkah Pemula Menuju Pembaharuan Pendidikan Tinggi Islam menjelaskan beberapa tujuan strategis Pendidikan Tinggi Islam, ialah: Pertama, menciptakan manusia yang beriman, yang meyakini suatu kebenaran dan berusaha membuktikan atau membudayakan kebenaran tersebut melalui akal (intellect) dan rasa. Kedua, melaksanakan tugas kemanusiaan yang menyampaikan amar-ma’ruf dan nahy-munkar  sesuai dengan keahlian profesionalnya maupun kesanggupannya sebagai manusia yang merupakan anggota masyarakat (Jufuf A. Faisal: 1978).