KOMERSIALISASI DAN EKSPLOITASI MEDIA MASSA
A.
Sebuah Pendahuluan
Peradaban yang terus maju dan berkembang, telah menghadapkan kita kepada
situasi sosial yang selalu dinamis. Begitu pula dengan kondisi kekinian saat
ini, media telah membanjiri berbagai ruang dan scope dalam
kehidupan manusia. Konsekuensi logis yang terjadi adalah segala aspek kehidupan
manusia tak terlepas dari keberadaan media sebagai sarana komunikasi dan
informasi. Saluran televisi baik yang terestrial, satelit maupun digital dan
stasiun radio yang jumlahnya tak terhitung telah memenuhi gelombang udara kita.
Surat kabar, majalah, buku, komik, film, video dan animasi saling bersaing
untuk mendapatkan waktu kita yang sangat berharga. Bahkan berselancar di
internet sudah menjadi aktivitas sehari-hari bagi sebagian besar masyarakat
yang hidup dalam dunia industri ini. Seolah-olah melek media merupakan
hal yang lazim dan mutlak dimiliki oleh setiap individu. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu peranan media pun semakin bergesar, bahkan beralih fungsi
dari fungsi semestinya.(Fatma Dita P).
Seperti yang kita ketahui bahwa media massa mempunyai peran yang sangat
signifikan dalam kehidupan manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa hampir pada
setiap aspek kegiatan manusia, baik secara pribadi maupun umum, selalu
berhubungan dengan aktifitas komunikasi massa. Hasrat interaksi antar individu
atau masyarakat yang tinggi tersebut menemukan salurannya yang paling efektif
dan terandalkan dalam berbagai bentuk media massa, guna saling berkomunikasi
dan bertukar informasi. (Devin Prastyia)
Dalam perkembangannya, media massa memang sangat berpengaruh di wilayah
kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Dari aspek sosial-budaya,
media adalah institusi sosial yang membentuk definisi dan citra realitas serta
dianggap sebagai ekspresi sosial yang berlaku umum; secara ekonomis, media
adalah institusi bisnis yang membantu masyarakat untuk memperoleh keuntungan
dari berbagai usaha yang dilakoni; sedang dari aspek politik, media memberi
ruang atau arena pertarungan diskursuf bagi kepentingan berbagai kelompok
sosial-politik yang ada dalam masyarakat demokratis.
Oleh karena begitu vitalnya peran media massa dalam berbagai aspek
kehidupan publik, maka memicu banyak pihak dari golongan politik tertentu yang
mencoba memanfaatkan media massa sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan
secara hegemonik kerap memaksakannya kepada publik. Diantara mereka bahkan
mampu menguasai media secara keseluruhan, yakni menjadi pemilik perusahaan media
massa.
Hal seperti ini juga terungkap dalam teori ekonomi-politik media yang
dikemukakan oleh Golding dan Murdock. Dengan memakai pendekatan strukturasi
Giddens, mereka menguraikan bahwa media massa memang telah menjelma sebagai
industri yang menjual produk berupa informasi untuk dikonsumsi masyarakat demi
memperoleh profit bagi pemiliknya. Pola ini telah menggurita secara global
dalam suatu sistem kapitalisme media, dimana media massa berperan penting
sebagai agen ideologis yang membentuk pola fikir dan memandu perilaku
konsumennya. Nilai umum yang biasanya ditanamkan adalah perihal memacu hasrat
konsumsi, pandangan hidup liberal, melegitimasi wacana investasi dan pasar
bebas, hingga memassifkan budaya trend-popular dan sebagainya.
Namun, pendekatan strukturasi ini juga melirik bahwa determinasi
kapitalisme global menjadi satu-satunya penentu nilai-nilai apa yang akan
disebar melalui media massa tidaklah patut diterima begitu saja. Sebab, dalam
rantai strukturnya, terdapat agen-agen lokal yang memiliki peranan aktif dan
kreatif dalam proses pengendalian pengaruh media massa terhadap pembentukan
opini publik sesuai dengan kepentingan politis yang hendak dicapai golongannya
(Sunarto, 2009).
Setidaknya terdapat empat fungsi media massa, yaitu: fungsi edukasi,
informasi, hiburan dan pengawasan. Masing-masing mempunyai aturan main, dan
orientasi tesediri berdasarkan tujuan
dan kepentingan dari redaktur media massa tertentu karena selama ini media
massa -elektronik maupun cetak- telah berkecenderungan menggeser paradigmanya
dari media yang independen kearah media yang hanya memburu kekayaan ekonomi
kapitalistik.
Menurut DeWitt C. Reddick, (1976) fungsi utama media massa adalah untuk
mengkomunikasikan ke semua manusia lainnya mengenai perilaku, perasaan, dan
pemikiran mereka. Sebagai salah satu media dalam komunikasi massa, televisi
merupakan media komunikasi yang menyediakan berbagai informasi yang update, dan
menyebarkannya kepada khalayak umum.
Sementara Eoin Devereux (2005), mendefinisikan
bahwa media massa mrupakan :
-
“wadah” berkomunikasi antara sender
dengan receiver
-
Sebuah industri atau organisasi
-
Institusi yang memproduksi teks sebagai
komoditas
-
Agen perubahan sosial dan global
-
Agen sosialisasi dan menjadi sumber yang
sangat kuat dalam mengkonstruk kebermaknaan sosial (social meaning)
Berdasarkan lima definisi tersebut, media
massa adalah institusi ekonomi yang memproduksi teks dengan tujuan utama untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Posisi demikian karena media massa
telah menjelma menjadi industri yang menganut ideologi kapitalis yang pada
orientasinya hanya mementingkan profit tanpa mempertimbangkan posisi publik dan
dampak dari pemberitaan yang berpihat terhadap kepentingan tertentu.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
ideologi kapitalisme media juga disebabkan oleh adanya kepemilikan media oleh
beberapa orang tertentu. Hal ini dapat dijumpai pada negara dengan sistem
demokrasi yang campur tangan pihak pemerintah sangat sedikit dan pasar memegang
kendali pada media. Kepemilikan media juga berkaitan erat dengan konglomerasi
dan monopoli media yang mengakibatkan isi media itu itu saja. media juga
menetapkan agenda setting yang membuat masyarakat menganggap berita tersebut
penting. Agenda setting media lebih penting daripada agenda publik dan agenda
politik.
Beberapa contoh konglomerasi dan
monopoli media di Indonesia antara lain :
Media
Nusantara Citra (MNCN) Group : RCTI, Global TV, MNCTV, SINDOtv, Harian Seputar
Indonesia, Radio Dangdut Indonesia, Sindo Radio, Global Radio, V Radio,
Okezone.com.
Trans Corp : Trans TV, Trans7, DetikCom,
Antatour, The Coffee Bean & Tea Leaf, Baskin-Robbins, Metro Department
Store, Trans Studio Resort (Makassar dan Bandung), Carrefour Indonesia.
Kompas
Gramedia : Harian Kompas, Tribun, Warta Kota, Bobo, Kawanku, Kompas.com, Kompas
TV, Sonora, Toko Buku Gramedia, Gramedia Pustaka Utama, Elex Media Komputindo.
Visi
Media Asia (VIVA) : antv, tvOne, VIVA.co.id. Surya Citra Media (SCMA) : SCTV,
Liputan6.com. Media Group : Media Indonesia, Metro TV, Lampung Post, dan
lain-lain.
Dengan adanya
kepemilikan media massa dalam suatu negara maka dampak yang akan timbul adalah
terjadinya peluang untuk menyebarkan kepentingan tertentu kepada publik,
sehingga publik terhegemoni -meminjam istilah Antonio Gramsci (1891-1937)-
lewat teks atau tontonan program yang diproduksi oleh media massa.
B.
Komersialisasi Media Massa
Berdasarkan artikata.com (2012) pengertian komersialisasi yakni perbuatan
menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan,komersiil. Sedangkan istilah
komunikasi menurut Carl I. Hovland (Mulyana, 2007) yakni merupakan proses yang
memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya berupa
lambang-lambang verbal untuk mengubah perilaku orang lain. Sedangkan kata
“massa” mengandung pengertian kekuatan dan solidaritas dalam kalangan kelas
pekerja (McQuail, 1994).
Komersialisasi merupakan suatu tindakan yang mengutamakan sisi beneficial dan
eksistensi. Sedangkan maksud dari komersialiasi pada televisi yakni,
bergesernya fungsi televisi sebagai media penyiaran yang edukatif dan
informatif menjadi media yang mengutamakan profit/keuntungan dengan
mengesampingkan kualitas siaran yang ditayangkan. Bentuk komersialisasi dari
media televisi saat ini diantaranya adalah:
a.
Program yang berbasis pada rating
Keberadaan rating ini dipakai sebagai rujukan atau pedoman, bukan kualitas
akan program yang ditayangkan, sehingga pihak pengelola hanya akan menilik
keberadaan program berdasarkan jumlah viewers semata dan
mengesampingkan nilai-nila edukatif dan informatif itu sendiri. Dengan adanya
rating ini misal suatu program mendapat rating yang tinggi, maka akan memicu
bagi stasiun televisi lainnya untuk membuat program serupa dengan harapan yang
sama. Sementara, tidak selalu formulasi dan komposisi sebuah acara yang sama
persis bisa mendapatkan angka rating yang sama persis pula. Baru setelah semuanya
pasti, yakni setelah angka capaian rating didapatkan. Pemasang iklan baru akan
datang. (Wirodono, 2006: 94).
b. Maraknya Iklan sebagai profit making
Televisi
dengan kapitalisme memang sulit dipisahkan, keduanya memiliki kepentingan yang
nyaris tidak berbeda. Menurut Shoemaker (1991 :121), organisasi media merupakan
entitas ekonomi, formal dan sosial yang menghubungkan para awak media, pemilik
modal, dan pasar dengan tujuan untuk memproduksi, mendistribusi dan membuka
cara konsumsisme yang ditawarkan. Sebagai capitalist venture televisi
beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu
memfasilitasi tetapi juga mengekang. Dalam pandangan Smythe, fungsi utama media
pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audien bagi monopoli penjualan
pengiklan kapitalis (Smythe 1997).
Dengan
demikian, media khususnya televisi terjerat dalam tiga situasi: pertama, tingginya investasi yang harus
disiapkan dan yang mengakibatkan desakan untuk menjamin return of investment
sesuai dengan rencana bisnis awal. Kedua,
kecenderungan meningkatnya biaya overhead dari tahun ke tahun yang disebabkan
oleh berbagai faktor seperti suku bunga, peningkatan biaya produksi terutama
peralatan, peningkatan biaya untuk pengisi acara dan biaya penyewaan fasilitas
produksi seperti lighting, audio, set décor, dan post production facilities. Ketiga, desakan teknologi yang
menuntut dipenuhinya teknologi baru secara terus menerus untuk memungkinkan
kualitas dan kreatifitas produksi agar tetap kompetitif terhadap produk dalam
maupun luar negeri. Akumulasi dari ketiga permasalahan tersebut menyebabkan
kompetisi ketat yang pada gilirannya menimbulkan benturan antara idealis
masyarakat dan media yang bersangkutan (Ishadi S.K, 2010: 128)
c.
Ekonomi Politik
Sesuai pendapat McQuail (2010 : 219) terdapat tiga faktor
utama yang akan selalu mempengaruhi operasionalisasi penyiaran TV : (1)
Ekonomi, (2) Teknologi , dan (3) Politik. Faktor ekonomi dan teknologi
merupakan dua faktor utama penunjang keberlangsungan hidup TV sebagai industri.
Pengaruh faktor politik dapat terlihat secara eksplisit dan implisit melalui
isi program tayangannya, dan semakin jelas ketika Pemilu (Prof.
Sasa Djuarsa Sendjaja).
Media yang ditumpangi kekuatan penguasa tertentu ini menggunakan propaganda
politik sebagai sasarannya. Lasswell (dalam Hafied Cangara, 2009) menyatakan
bahwa propaganda adalah suatu kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan
persuasi yang membawa masyarakat dalam situsi kebingungan, ragu-ragu, dan
terpaku pada sesuatu yang tampak menipu dan menjatuhkan.
Propaganda ini dilakukan dalam berbagai bentuk
diantaranya yakni kampanye. McGniss dalam bukunya The Selling Of
President (dalam Hafied Cangara, 2009) menyebutkan bahwa media massa
utamanya televisi memiliki peran yang menentukan dalam pembentukan citra
kandidat.
C.
Eksploitasi Perempuan Dalam Medi Masa
Di dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, “exploitation”
yang kemudian diserap menjadi “eksploitasi” dalam Bahasa Indonesia disebut
sebagai istilah yang sering muncul dalam diskursus Marxis tapi kini menjadi
istilah yang jamak dipakai. Di dalam glosarium online istilah Marxis,
ekploitasi secara sederhana diartikan sebagai pemanfaatan titik lemah satu
pihak oleh pihak lain sebagai alat untuk meraih tujuannya sendiri dengan biaya
(expense) dari pihak yang dimanfaatkan tersebut.
Pengertian yang dirumuskan Feinberg mungkin lebih mudah dipahami,
eksploitasi adalah ketika A menjadikan suatu kapasitas dari B sebagai alat
untuk mengeruk keuntungan. Maka eksploitasi terhadap perempuan dalam
konteks diskusi ini adalah ketika pihak-pihak tertentu menjadikan tubuh
perempuan (kapsitas dari B) untuk meraih keuntungan.
Eksploitasi terhadap perempuan bisa dilihat dari segi fisik, mislanya
penderitaan yang menimpa para buruh perempuan yang memperoleh gaji lebih rendah
dengan jam kerja yang sama dengan buruh pria. Namun eksploitasi juga bisa
dilihat dari segi lain, yakni penggunaan tubuh perempuan sebagai alat untuk
mendatangkan untung sebesar-besarnya.
Michel Foucault berpendapat, dalam dunia global,
antara nilai jual tubuh, hasrat, dan kekuasaan kapitalis terdapat hubungan
yang tidak terpisah. Eksploitasi tubuh wanita tersebut dimuluskan
melalui media; televisi, koran, majalah, video, dan lain-lain. Maka
benarlah pernyataan bahwa tubuh wanita hari ini adalah komoditi simbolik dan
alat dagang demi kepentingan bisnis dan media massa adalah kendaraannya.
Iklan
menjadi sebuah mesin kekerasan simbolik yang bisa menciptakan sistem
kategorisasi, klasifikasi, dan definisi sosial tertentu sesuai dengan
kepentingan kelas atau kelompok dominan. Image-image simbolik yang diproduksi
iklan seperti misalnya kebahagiaan, keharmonisan, kecantikan, kejantanan, gaya
hidup modern pada dasarnya merupakan sistem nilai yang dimiliki kelas atau
kelompok dominan yang diedukasi dan ditanamkan pada suatu kelompok masyarakat.
Image-image yang
diproduksi iklan adalah tindakan pedagogis yang dapat memaksakan secara halus
nilai-nilai, standar-standar dan selera kebudayaan kepada masyarakat atau
sekurang-kurangnya memantapkan preferensi kebudayaan mereka sebagai standar
dari apa yang dianggap tertinggi, terbaik dan paling absah. Dominasi kelas
terjadi tatkala pengetahuan, gaya hidup, selera, penilaian estetika dan tata
cara sosial dari kelas yang dominan menjadi absah dan dominan secara sosial.
D.
Sebuah
Penutu
Jika pemujaan tubuh menjadi salah satu akar eksploitasi, maka yang
harus dilakukan untuk mulai menggerusnya adalah dengan menampilkan kecantikan
perempuan dari segi yang lain. Memulai gerakan intelektual perempuan agar
perempuan “dinilai dari isi kepalanya, bukan bentuk model rambutnya” adalah
salah satunya, dimana wanita tidak lagi dinilai dari fisiknya yang notabenenya
adalah bentuk penilaian yang paling rendah, dan murahan, tapi wanita akan
dinilai dari moral dan intelektualnya. Jika bermuculan perempuan-perempuan yang
mencerahkan dunia dengan sumbangan intelektual mereka, maka tidak ada lagi alasan
dan kesempatan untuk memandang perempuan dari fisiknya semata.
Kepentingan kapital pun turut memotori pergerakan berbagai elemen kehidupan
berbangsa dan bernegara termasuk dalam kenetralan media massa. Begitu pula yang
terjadi pada televisi saat ini, dengan ditumpangi berbagai kepentingan
kapitalisme, media netral ini mengalami berbagai perubahan mendasar dalam
penyiarannya sebagai media edukatif dan informatif. Sisi komersialitas pun
ditonjolkan dalam berbagai bentuk yang merupakan kewenangan mutlak dari
pengelola stasiun televisi tersebut. Akibatnya keberadaan televisi dalam
menjalankan fungsi awalnya menjadi bergeser ke fungsi komersiil dan
mengesampingkan dampak yang ditimbulkan terhadap khalayak umum.
Inilah fakta yang bisa kita lihat, potret perempuan dalam dunia demokrasi
tidak jauh berbeda dengan manekin yang dijadikan sebagai alat
pemajang produk baru dari toko pakaian. Atau lebih jauh lagi, bahwa perempuan
yang hidup di alam yang serba bebas ini tidak lebih dari sekedar komoditi dan
barang yang bisa dieksploitasi. Bagi mereka yang berpikir, hal ini semakin
membuktikan bahwa demokrasi dengan sistem ekonomi kapitalismenya secara nyata
memenangkan kepentingan bisnis jauh diatas rakyat.
Jogjakarta, 03 September 2013. Pkl. 12.30 WIB
tulisane mantab...
BalasHapuswww.soearamoeria.blogspot.com
mungkin bisa msukkan daftar pustakanya
BalasHapus