“HILANGNYA JATI DIRI DAN OBJEKTIVITAS MEDIA MASSA DI ARUS GLOBALISASI”
Mengintip Globalisasi
Sekarang ini kita
menikmati kelimpahan informasi yang luar biasa. Hal ini tentu berkait dengan
makin banyak, beragam, dan cangginhnya industri media informasi dan komunikasi, mulai
cetak hingga elektronik, menawarkan berita dan sensasi. Disisi lain kita
melihat kebebasan yang dimiliki oleh penggiat media dalam berbagai
pemberitaanya. Kita tentu saja dibuat bingung oleh banyaknya berita yang diproduksi.
Hal itu tidak lain karena berita yang disajiakan tiap kali berbeda-beda bahkan
berlawanan, belum lagi terkadang kita juga dibuat kaget oleh kemunculan berita
yang tampak tiba-tiba, asing dan berani (Eriyanto, 2001: V).
Dari relita diatas,
kita kemudian dituntut untuk berperan aktif untuk mengetahuai apa sebenarnaya
yang terjadi dan tersembunyi dibalik teks-teks berita tersebut, tentunya dengan
bersikap objektif dan independen dalam menyikapi segala pemaknaan yang
dilakukan oleh kelompok tertentu pada kita, terlebih pada era global seperti ini.
Berbicara
era Globalisasi, sudah pasti sering diidentikan dengan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, yang memproyeksikan dunia sebagai ‘kampung global’ (global
village), yang nyaris tanpa batas dan jarak. Pada era global, informasi
dapat cepat ditransformasikan melalui alat-alat canggih lewat media massa, baik
cetak, ataupun media elektronik. Media
massa tersebut mampu mentransformasikan pesan (message) dalam waktu
singkat, serentak (simultan), dan menjangkau khalayak banyak.
Begitu
besar pengaruh globalisasi sehingga para pakar di bidang ini menyebutnya
sebagai efek bola salju (snowball effect), yaitu arus global yang sulit
dihindari oleh siapapun dan oleh sistem manapun.
Pada akhirnya, globalisasi
membawa perubahan yang sangat cepat di segala bidang. Karena itu, globalisasi
menuntut sikap adaptatif dengan perkembangan yang sedang berjalan. Maka siapa
yang tidak mampu beradaptasi dengan zaman, maka akan tertinggal. Perubahan
sosial yang diakibatkan oleh pengaruh
globalisasi dapat mengakibatkan perubahan nilai-nilai, sistem sosial dan
tatanan masyarakat lainnya. Dengan kata lain, perubahan itu bisa berdampak pada
nilai-nilai budaya, agama dan sistem sosial politik.
Realitas yang
terjadi sekarang ini, media massa -terlebih actor media- sudah tidak lagi
dapat menemukan jati diri objektivitasnya
dalam menjalankan tanggung jawab sosial. Kebanyakan pelaku media hanya
terpaku dan
terjebur dalam kubangan teori jurnalisme semata tanpa menghiraukan dampak yang terjadi
dalam masyarakat akibat pemberitaan yang tidak seimbang antara realitas yang dikonstruksikan oleh satu kelompk dengan yang lain.
Berangkat dari
semua itu, yang sering kita khawatirkan
adalah media massa sudah kehilangan objektivitas pemberitaannya. Harapan agar
media massa melakukan self cencorhsip
sebenarnya sampai sekarang masih (diper)sulit untuk direalisasikan dalam praktik
jurnalisme. Objektivitas sebenarnaya merupakan hal yang mudah dipahami, akan
tetapi sangat sulit untuk direalisasikan, terlebih jika kita membuka mata dan
melihat keadaan praktik jurnalisme di Indonesia.
Berbicara tentang
objektivitas media massa kita tidak akan bisa melepaskan diri dari bahasan
fakta dan opini/fiksi. Westerstahl (McQuail, 2000), pernah meyodorkan bahwa
yang dinamakan objektif setidaknya mengandung faktualitas dan imparsialitas.
Faktualitas
berarti kebenaran yang di dalamnya memuat akurasi (tepat dan cermat), dan
mengkaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan (relevansi).
Sementara itu, imparsialitas mensyaratkan adanya keseimbangan (balance)
dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu.
Dengan demikian,
informasi yang objektif selalu mengandung kejujuran, kecukupan data, benar dan
memisahkan diri dari fiksi dan opini. Ia juga perlu untuk menghindarkan diri
dari sesuatu yang hanya mengejar sensasional semata. Apa yang dikemukakan oleh
Westerstahl tersebut di atas dalam praktiknya tidak mudah untuk diwujudkan.
Media massa tidak lepas dari subjektivitas atau subjektivitas yang objektif.
Subjektivitas dilakukan jika media massa memberitakan suatu kejadian yang tidak
pernah terjadi. Sementara itu, subjektivitas yang objektif terjadi ketika media
massa secara terang-terangan atau tidak cenderung membela salah satu pihak yang
sedang diberitakan. Pemberitaannya berdasarkan fakta-fakta yang terjadi
(objektif) tetapi penulisannya secara subjektif.
Kecenderungan ini
mewarnai setiap kebijakan media massa. Bahkan koran sebesar New York Times
(NYT) yang sudah berusia 100 tahun dan mengawal 20 presiden AS tidak lepas dari
kepentingan itu. Noam Chomsky pernah menulis bahwa cara pandang koran itu
sangatlah elitis dan sangat menekankan kepentingan AS dalam melihat negara
dunia ketiga. Dalam masalah Timor Timur misalnya sangat sedikit ditulis
sementara di Vietnam (AS punya kepentingan di sana) begitu gencarnya. Padahal
pada tahun 70-an itu, di Timor Timur terjadi banyak pelanggaran HAM yang
membutuhkan perhatian serius bagi koran sebenar NYT (Haryanto, 2006).
Apalagi media
massa di Indonesia yang usianya belum setengah abad, jelas sangat tidak mudah
melakukan objektivitas penulisan. Ini bukan bermaksud membela media massa,
tetapi kita juga perlu melihat sisi lain yang mengitari media massa. Paling
tidak dibandingkan dengan era Orba, media massa Indonesia jauh lebih baik.
Selain media massa cetak, yang tidak kalah
menariknya adalah objektivitas yang terjadi pada media televisi kita dalam beberapa kasus, televisi
jauh lebih besar dalam melanggar objektivitas tayangan. Ini bisa kita lihat
dari tayangan infotainment
yang sedang marak di televisi kita. Tayangan itu sering mencampuradukkan antara
fakta dan opini.
Pernyataan yang
dibacakan oleh narator atau pembawa acara seringkali “menuduh” pihak tertentu
dan mengarahkan penonton untuk setuju dan tidak setuju terhadap realitas yang
disajikannya. Meskipun, mereka merasa hanya sekadar memberikan ilustrasi dari
apa yang disajikan. Kata-kata seperti “sungguh tragis”, “sayangnya”, “tidak
disangka” dan sebagainya menjadi contoh kongkrit keberpihakan tersebut.
Akibat pemberitaan
yang tidak proporsional itu pula, ketidakadilan di masyarakat pasti terjadi. Meskipun demikian,
realitas yang terjadi dilapangan justru masyarakat secara sadar ataupun tidak
(sengaja) terbawa arus pemberitaan yang tidak seimbang seperti infotainment, sementara korupsi yang menimpa
anggota DPR dan jajaran pemerintah sering luput dari pengamatan kita. Bagaimana pula dengan DPRD
meminta gaji yang selangit dan berkilah atas dasar PP no. 37/2006?.
Dalam
bukunya yang berjudul “Analisis Wacana
Teks-Teks Media”, Eriyanto mengatakan
bahwa dalam hal ini kaum
Pluralis justru melihat
media massa sebagai saluran yang bebas dan netral, di mana semua pihak dan
kepentingan dapat posisi dan kepentingannya secara bebas. Namun pandangan
teresebut ditolak oleh kaum Kritis. Pandangan kritis melihat medeia bukan hanya
alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideology dominan. Media
membantu kelompok dominan menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain,
membentuk konsesus antar anggota komunitas. Lewat medialah, apa yang baik
maupun buruk, ideology domonan dimapankan. Media bukanlah sekedar saluran yang
bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan bias dan
pemihakannya. Seoaerti yang dikatakan pleh Tonny Bannet, media dipandang
sebagai agen konstruksi social yang mendefinisikan realitas sesuai dengan
kepentingannya.
Dalam pandangan
kritis media dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideology antara
kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Di sinilah kemudian media
dikatakan bukan merupakan sarana netral yang menampilkan kelompok da\n kekuatan
dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideology yang domonan
itulah yang akan tampil dalam pemberitaan.
Titik penting
dalam memahami media menurut paradigm kritis adalah bagaimana media melakukan
politik pemaknaan. Menurut Stuart Hall, makna tidak tergantung pada struktur
makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi
social, suatu praktik. Bagi stuart Hall, media massa tidak mereproduksi
melainkan menentukan (to define) realitas melalui kata-kata yang
dipilih. Makna, tidaklah secara sederhana dianggap sebagai reproduks dalam
bahasa, tetapi sebuah pertentangan social (social struggle), perjuangan
dalam memenangkan wacana. Oleh karena itu pemaknaan yang berbeda merupakan
arena pertarungan dimana memasukkan bahasa didalamnya. Perjuangan antar
kelompok ini melahirkan pemaknaan untuk mengunggulkan satu kelompok dfan
merendakan kelompok lain. Media disini dipandang sebagai arena perang atar
kelas. Ia adalah media diskusi public dimana masing-masing kelompok social
saling bertarung, saling menyajikan perspektif untuk memberikan pemaknaan
terhadap stu persoalan. Tentu targetnya adalah pandangannya ditrima oleh
public. Media dapat dilihat sebagai forum bertemunya semua kelompok dengan
sudut pandang yang berbeda. Setiap pihak berusaha menonjolkan basis
penafsirannya, klaim dan argumentasi masing-masing agar dapat diterima oleh
public. Dalam pandangan kritis, pada akhirnya kelompok dominanlah yang lebih
menguasai pembicaraan dan menentukan arena wacana(Eriyanto, 2001: 38).
Yang menjadi
persoalan dalam lalu lintas pertukaran dan produksi makna ini adalah siapa yang
memegang kendali dalam memberikan pemaknaan. Dalam realitas social, siapa yang
memegang kendali sebagai agen pemroduksi makna dan siapa atau kelompok mana
yang hanya berperan sebagai konsumen saja dari pemaknaan tersebut. Siapa yang
mendefinisikan apa atau bahkan terus menerus menjadi objek pendefinisian?. Yang
sering terjadi dalam pertarungan symbol dan pemaknaan adalah suasana tidak
seimbang, satu pihak lebih mempunyai previlese dan akses kemediadibandingkan
pihak lainsehingga pemaknaan satu kelompok lebih dominan dan menguasai media.
Melihat
realitas kehidupan praktik jurnalisme seperti itu tentunya kita sebagai individu yang memiliki tanggung jawab sosial
yang tinggi harus mampu memberi solusi atas semua problem yang sudah mengakar
sampai sekarang ini, terlebih kita juga merupakan pelaku media yang sekiranya
sudah dibekali cukup teori maupun pengalaman mengenai media massa secara umum.
Aniefy Jr Copr (PP. Biro Keilmuan Forkomnas KPI)
0 komentar:
Posting Komentar