“Perempuan, Antara Kehidupan Sosial dan Politik”
A.
DASAR
PEMIKIRAN
Budaya patriarki merupakan sumber utama dimana ketidakadilan gender
terhadap perempuan menjadi realitas yang sangat merugikan, baik dalam bentuk violence, stereotype, subordinasi,
marginalisasi maupun double burden.
Budaya patriarki telah mendasari bagaimana relasi sosial yang
terbentuk baik dari perspektif “kelas” ataupun yang lainnya menjadikan posisi
dan representasi kehadiran serta kepentingan perempuan mendapatkan perlakuan
yang tak setara dibandingkan kaum laki-laki. Narasi besar kondisi patriarkal
ini mewujud pada struktur-struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam
realitas sosial dan telah dilanggengkan secara dominatif maupun hegemonik untuk
mem-pertahankan “kekuasaan” tersebut.
Memasuki era kesetaraan gender,
stigma-stigma politik itu maskulin atau politik itu adalah “dunianya laki-laki”
seharusnya tidak lagi relevan. Sudah saatnya perempuan tidak lagi hanya sebatas
menjadi penonton panggung politik, melainkan ikut terlibat menjadi aktor di
dalamnya. Affirmative action melalui kebijakan kuota 30% keterwakilan
perempuan di legislatif contohnya, dapat menjadi pintu masuk yang mendorong
partisipasi perempuan di ranah politik. Pada intinya, signifikansi keterlibatan
perempuan di ranah politik adalah berdasarkan adagium politik : politic is
personal, yaitu bahwa politik adalah sesuatu yang personal dan dekat dengan
keseharian kita.
Perspektif mengenai keterlibatan perempuan
di atas juga disampaikan oleh Netty Prasetiyani—istri Gubernur Jawa Barat Ahmad
Heryawan—dalam diskusi bertajuk “Perempuan Cerdas Berpolitik” yang
berlangsung pada 30 Januari 2013 di Graha Kompas Jl. RE. Martadinata, Bandung.
Pada saat diskusi berlangsung, Bu Netty menyampaikan bahwa “peran dan
keterlibatan perempuan dalam politik adalah untuk ikut bersikap dalam
menentukan akses dan kontrol terhadap keputusan politik itu sendiri”.
Perempuan, dalam pandangan Bu Netty harus ikut terlibat dalam setiap
pengambilan keputusan, agar kebijakan yang dihasilkan memuat sudut pandang
perempuan. Dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan belum tentu
memperhatikan kepentingan-kepentingan perempuan. Dengan demikian, masuknya
perempuan di ranah politik dapat memberikan “warna tersendiri” dan alternatif
perspektif yang selama ini banyak didominasi oleh laki-laki—atau diistilahkan
sebagai maskulinisasi politik.
Sebagai upaya untuk memberikan
pencerdasan politik bagi perempuan, Netty membaginya ke dalam empat hal.
Pertama, supporting system. Perempuan membutuhkan dukungan penuh dari
keluarga untuk dapat mengaktualisasi dirinya. Dalam diskusi publik yang
diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan pada 19 Januari 2013 dengan tema
“Pejabat Publik Perempuan”, salah satu narasumber menyampaikan bahwa perempuan
seringkali mendapat hambatan ketika berpartisipasi di ruang-ruang publik.
Hambatan terbesar seringkali datang dari urusan-urusan domestik atau rumah
tangga. Perempuan yang selama ini dilabeli dengan urusan-urusan domestik
seringkali “merasa bersalah” ketika harus meninggalkan urusan rumah tangga.
Meskipun suami dan istri telah membuat kesepakatan untuk membagi tugas dalam
urusan-urusan rumah tangga, hal tersebut tidak serta merta menghilangkan
perasaan bersalah perempuan. Hal inilah yang kemudian dapat diantisipasi
melalui supporting system. Dengan demikian, dukungan penuh keluarga
menjadi penting pada konteks ini. Pada upaya selanjutnya adalah civic and
political education dan peningkatan kapasitas. Kedua hal ini berkaitan
dengan kualitas diri perempuan. Keberadaan perempuan di ranah politik adalah
untuk mengubah kebijakan-kebijakan yang bias gender, bukan hanya sebatas
sebagai “pemanis” atau sebagai vote getter. Dan yang terakhir adalah
perluasan jaringan.
Pandangan Netty mengenai
keterlibatan perempuan di ranah politik di atas sesuai dengan pendapat Ingunn
Nordeval bahwa perempuan memiliki kepentingan politik yang berbeda. Ingunn
Norderval menyatakan, sebagaimana dikutip dari Anne Phillips (1991: 75) “..
women and men have different political interest because of gender-based
differentiations throughout the social-structure”. Hal ini menunjukkan
bahwa kepentingan perempuan tidak dapat serta merta diserahkan kepada
wakil-wakil politik yang banyak didominasi oleh laki-laki. Banyak perspektif
perempuan yang perlu dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Dengan demikian, keterlibatan perempuan di ranah politik menjadi suatu
keniscayaan dalam mengubah mindset maskulinisasi politik.
Dewasa ini perempuan mendominasi dunia
di berbagai bidang. Termasuk di dalamnya bidang sosial dan politik.
Semenjak gerakan feminisme berkembang di Indonesia, maka tak lagi heran
jika di muka publik seringkali dihiasi oleh wajah-wajah cantik perempuan.
Walaupun pada dasarnya kaum pria yang tetap lebih tinggi atau lebih kuat dari
kaum perempuan, tetapi kekuatan seorang pria tentunya tak lepas dari dukungan
perempuan di belakangnya. Karena itu, muncul paradigma “bangsa yang besar
adalah bangsa dari perempuan yang hebat”.
Revitalisasi untuk Perempuan
Masruchah berpendapat bahwa “Perempuan kini kembali
redup, mulai kehilangan cahaya-cahaya indahnya. Pemikirannya yang hebat
tertutupi oleh batasan-batasan yang berbenturan. Salah satu batasan itu adalah
hukum yang diskriminatif”. Contoh dari hukum yang diskriminatif adalah
peraturan daerah mengenai pelarangan pelacuran. Salah satu isi peraturannya
yaitu perempuan tidak boleh ada di luar rumah mulai pukul 24.00 sampai dengan
pukul 04.00 pagi. Bagi sebagian orang ini baik, tetapi bagaimana jika memang
ada keperluan mendadak yang mengharuskan perempuan keluar di waktu-waktu
tersebut. Hal ini tentu akan membuat kesalahpahaman atau bisa saja menimbulkan
pemikiran negatif. Bisa saja perempuan yang sedang pulang kerja malam hari
ditangkap oleh satpol PP dikarenakan adanya aturan tersebut. Redaksi peraturan
yang begitu ambigu dan rigid, tidak bisa disesuaikan dengan waktu dan kebutuhan
membuat tubuh perempuan itu sendiri sebagai objek dari ketidakpastian rasa
aman.
Batasan-batasan itu tidak hanya
satu, melainkan banyak hal dan bahkan saling berbenturan. Misalnya saja kodrat
dari perempuan itu sendiri dan agama yang jelas membatasi peran perempuan.
Selain itu, kekerasan pun menjadi salah satu yang memengaruhi ruang gerak
perempuan untuk berperan. Dari data yang didapat, pada tahun 2011 Komisi
Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan mencatat ada 119.107 kasus kekerasan
terhadap perempuan, baik itu di lingkungan masyarakat, komunitas, maupun
negara. Komisi HAM Nasionalpun mencatat bahwa 96% Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT) dialami oleh perempuan.
Mengingat redupnya perempuan
Indonesia saat ini maka sangat diperlukan revitalisasi terutama di bidang
sosial yang selanjutnya akan berdampak di bidang politik. Karenanya perlulah
kita sebagai generasi muda yang sinergis untuk aktif membela dan mengadvokasi
hak-hak perempuan. Bukan untuk membentuk suatu feminisme, melainkan suatu
gerakan bersinergi untuk ruang lingkup perempuan. Tujuan dari pergerakan ini
adalah menghasilkan pemikiran baru dan fresh untuk mendorong
perubahan yang progressif dalam sosial dan politik Indonesia. Membentuk
generasi perempuan yang tangguh dan hebat dengan pergerakan yang
batasan-batasannya tidak saling berbenturan. Perempuan tangguh dan hebat adalah
yang sinergis bergerak serta mampu berkarya untuk perubahan yang lebih baik
lagi.
Konsolidasi Perempuan
Sekarang pertanyaannya adalah bentuk
konsolidasi seperti apa yang bisa merevitalisasi peran perempuan? Menurut
Masruchah dan Ledia Hanifa, anggota DPR RI, “ada banyak bentuk konsolidasi yang
bisa dilakukan. Misalnya saja konsolidasi yang dimulai dari individu itu
sendiri, dengan menyumbangkan pikiran, gagasan, dan turut serta bergerak ‘go
ahead’. Agar kaum perempuan bisa melakukan ketiganya maka perlulah
perempuan mengetahui sektor-sektor yang menjadi wadahnya seperti sektor publik,
privat, bisnis, dan civil organization. Memahami dan peka terhadap
lingkungan sekitar tentunya akan membuat jalan konsolidasi semakin lancar.
Kepedulian kita terhadap lingkungan mendorong masyarakat untuk turut serta
membangun dan merevitalisasi peran-peran perempuan yang kini tengah redup.”
(catatan renungan menghadapi tahun politik; dari berbagai sumber)
blog ini tulisane sangar-sangar. benar-benar dengan pikiran dewasa yang kritis.istiqomahe joss
BalasHapus