KOMPENSASI BBM, SOLUSI TANPA PRESTASI ??
Memang
benar, tidak ada issu yang paling gencar, menarik dan heboh diberitakan oleh
media massa (elektronik dan cetak) nasional manapun di ndonesia dan menjadi
bahan yang penting diperbincangkan oleh masyarakat segala kelas kalau tidak
masalah kenaikan harga BBM (Bahan bakar Minyak). Wajar saja fenomena tersebut
terjadi karena BBM merupakan komoditi dasar yang menjadi bahan terpenting dalam
menentukan kebutuhan pokok masyarakat indonesia atau dunia.
Tanpa
mengesampingkan betapa besarnya manfaat BBM dalam kehidupan sehari-hari,
kiranya ada hal yang sangat urgen
untuk didiskusikan dalam kesempatan ini, yaitu keputusan Pemerintah dengan
dukungan DPR melalui voting pengesahan RAPBN-P 2013 yang sekaligus menandai
bahwa subsidi BBM telah dicabut, artinya bahwa secara otomatis harga BBM akan naik dengan kisaran untuk premium naik
Rp.2.000, dari Rp.4.500 menjadi Rp. 6.500 dan solar Rp.1.000 dari Rp.4.500
menjadi Rp.5.500. Kabar terkait naiknya harga BBM Nasional memang sudah beberapa bulan terakhir bergulir ditengah-tengah
masyarakat –terlebih kelas bawah- yang juga menjadi bayang-bayang ketakutan dan
kekhawatiran massal. Ironisnya sampai
saat ini pun (19/07) pemerintah masih terkesan ragu karena belum mampu
menetapkan kapan waktu yang tepat untuk menaikkan harga BBM. Dengan demikian
maka sekali lagi masyarakat kelas bawah seakan diombang-ambingkan, dibuat galau
oleh Pemerintah dan DPR dengan kebijakan yang tidak prorakyat. Alasan inilah
yang kemudian mengapa issu terkait dengan kenaikan harga BBM masih hangat dan
relevan untuk dibahas.
Dengan
adanya penetapan APBN-P tersebut, kenaikan harga BBM subsidi sudah menjadi
keputusan yang mengikat. Meskipun penetapan kenaikan diwarnai proses yang alot
di parlemen karena terjadi perdebatan yang cukup panjang antar fraksi pendukung
yang dimotori oleh fraksi Partai demokrat dan penolak yang dimotori oleh Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Demonstrasi berujung anarkis yang
dilakukan oleh mahasiswa dan buruh disejumlah daerah pun tidak dapat dihindari,
meskipun demikian rakyat pada akhirnya harus gigit jari dan menerima keputusan
tersebut. Dengan dinaikkannya harga BBM maka selanjutnya masyarakat dihadapkan
dengan posisi sulit karena dihantui oleh mahalnya kebutuhan pokok hidup
sehari-hari karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan harga BBM maupun
kebutuhan pokok lainnya dengan harga murah, sehingga setiap kenaikan harga akan
menimbulkan efek psikologis dan pengaruh instabilitas yang besar (SM:19/07).
MISIOT
dalam Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia UI menjelaskan bahwa, Indonesia
sebagai salah satu negara yang mempunyai potensi melimpah dari sumber
tambangnya, salah satunya adalah minyak bumi, jika dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya. Indonesia memiliki bekal tambang emas hitam yang terbilang cukup
banyak. Pada tahun 2010, Indonesia mampu menghasilkan minyak bumi kisaran
912.899 barrel perhari (minyak mentah & kondensat). Hal ini membuktikan
bahwa Indonesia merupakan negara yang melimpah akan SDA, sekaligus mempertegas
bahwa indonesai memang benar-benar gemah
ripah loh jinawe.
Meskipun
sebelum tahun 2004, Indonesia merupakan negara yang kaya minyak sehingga masuk
dalam Organisasi Negara Eksportir Minyak (Organization
of the Petroleum Exporting Countries/OPEC). Namun, semua kekayaan tersebut
hanyalah tinggal cerita karena pada kenyataannya sekarang hampir semua sumber
alam yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia justru dikelola oleh
perusahaan asing, sebut saja Freeport, Shell, Chevron, Exxon, dan
British Petroleum, selama beberapa puluh tahun dan belum tahu kapan selesainya.
Dengan adanya
penguasaan minyak bumi Nasional oleh asing maka dampak yang ditimbulkan adalah,
Indonesia menjadi negara pengimpor BBM terbesar di Asia yang tentu mengeluarkan
dana yang tidak sedikit. Pengamat Ekonomi Faisal Basri menilai sebuah hal yang
ironis ketika Indonesia sebagai salah satu negara penghasil BBM, namun masih
impor. Padahal sebenarnya mampu memproduksi banyak BBM yang masih tersedia.
Kebijakan pemerintah dalam menginpor BBM pun diperparah dengan adanya
politisasi dengan adanya indikasi
permainan kong-kalikong elit tertentu. Mengapa tidak, karena sistem impor
merupakan tempat “basah” untuk menghalalkan trnsaksi korupsi sebagaiman kasus
korupsi impor daging sapi yang sudah terjadi.
Kebijakan
pemerintah untuk menaikkan harga BBM tentu mempunyai banyak sekali effek domino
dalam segala sektor kehidupan masyarakat, terlebih adalah bidang ekonomi yang
sudah diprediksikan oleh berbagai kalangan yang akan menerima dampak lebih
besar. Meskipun Menkokesra, Hatta Rajasa merasa optimis dengan pertumbuhan
ekonomi nasional yang mencapai di atas 6% pada kuartal II. Bank Indonesia dan
Menkeu pun tak mau kalah menampilkan optimismenya dengan memasang target tinggi
(target pertumbuhan ekonomi 6,1%-6,5%) meskipun pada kenyataannya terdapat rasa
psimistis yang mengahantui masyarakat dengan dinaikkannya BBM. Maka pertanyaan
yang tepat sebagai respon kritis dari rasa optimisme tersebut adalah masyarakat
mana? Apa indikator yang menjadi ukuran dari perkembangan perekonomian Indonesia?
Rasa
psimistis tersebut disebabkan oleh beberapa kenyataan lapangan yang kesemuanya
ditimbulkan dari dampak kenaikan harga BBM, diantaranya adalah semakin tidak
terkendalikannya harga-harga bahan pokok kebutuhan hidup masyarakat seperti
sembako, kebutuhan dapur, tarif transportasi yang mencapai 30% dan kebutuhan
primer lainnya. Wajar saja jika semua kebutuhan ikut-ikutan latah dengan
menaikkan harga jual barang karena masyarakat sudah terlanjur menjadikan haraga
BBM sebagai induk, acuan dan representasi dari harga-harga kebutuhan hidup
lainnya. Dilain sisi karena memang hal ini tidak dapat dihindarkan karena demi
mencukupi dan mengikuti kebutuhan hidup, tak jarang juga yang memang secara
sengaja mengambil keuntungan dari tangis keringat masyarakat pinggiran.
Jika kondisi
seperti ini terus dibiarkan berlarut oleh pemerintah tanpa adanya tindakan riil
sebagai bentuk tanggungjawab secara struktural kepemerintahan maupun moral
individual, sama saja Pemerintah dan DPR selaku pengambil kebijakan bertindak
menyimpang dan dzolim terhadap pemegang kedaulatan sesungguhnya, yaitu rakyat.
Dampak lain yang dihadapi masyarakat adalah meningkatnya angka kemiskinan dan
pengangguran sebagai konskuensi logis yang disebabkan oleh terpuruknya daya
beli masyarakat, terlebih momentum dinaikkannya harga BBM dirasa oleh banyak
kalangan kurang tepat karena mendekati bulan Ramadhan dan Idul fitri, dimana sudah
menjadi adat bersama bahwa harga kebutuhan pokok akan ikut naik. Entah sebagai
tanda datangnya bulan penuh berkah tersebut atau untuk meramaikan bulan
Ramadhan. Pada akhirnya yang terjadi adalah kesenjangan ekonomi antar kelas
sosial semakin tajam, yang miskin semakin meringis kesakitan dengan
kesengsarannya dan yang kaya semakin menyombongkan diri dengan hartanya.
Disamping
beberapa dampak tersebut, terdapat
permasalahan yang cukup parah dalam pemerataan distribusi BBM yang
mungkin saja Pemerintah dan DPR kurang dalam mengkaji dan menganalisis, yaitu
kasus kriminalisasi penimbunan BBM yang dilakukan oknum tertentu demi
mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Jika jubir fraksi Demokrat, Achsanul
Qosasih dan jubir fraksi PAN, Teguh Juwarno berpendapat bahwa, siapa orangnya
yang tidak mendukung naiknya harga BBM bersubsidi sama halnya mendukung adanya
penimbunan yang dilakukan oknum tertentu dan tidak mendukung rakyat miskin maka
menurut hemat penulis tidak lah sepenuhnya benar, karena pada kenyataannya
praktik penimbunan akan tetap terjadi dan kemungkinan besar justru semakin
meningkat sebagaiman yang diberitakan oleh beberapa media massa karena dampak
dari naiknya harga BBM. Logikanya adalah, pelaku penimbunan akan berpikir lebih
rakus dengan kebijakan tersebut karena secara hitungan matematik keuntungan
yang didapat akan lebih besar. Terlebih lagi belum pastinya waktu yang
ditetapkan pemerintah untuk menaikkan harga BBM seolah memberi kesempatan luas kepada
pelaku penimbunan untuk menimbun BBM sebanyak-banyaknya.
Nampaknya
kegelisahan yang dirasa masyarakat miskin sebagai bentuk dari dampak naiknya
harga BBM semakin tidak jelas kapan dan dimana muaranya. Pemerintah rezim SBY
dan DPR dalam memutuskan sebuah perkara belum mampu melepaskan baju identitas
kepartaiannya jika sudah menjabati posisi tertentu. Hal ini berdampak pada
hasil keputusan yang cenderung pro rakyat, namun keputusan yang diambil justru
seolah hanya berhenti pada kepentingan kelompok partai tertentu. Keputusan
RAPBN-P 2013 merupakan bukti nyata bahwa pemerintah dan DPR hanya mengedepankan
aspek politis dengan mengambil kebijakan dengan cara voting anggota DPR yang
dalam hasilnya dimenangkan oleh fraksi dari partai koalisi yang dimotori oleh
PD, Golkar, PAN, PPP dan PKB dengan 338 suara, sedangkan partai oposisi yang
dimotori oleh PDIP, Gerindra, Hanura dan PKS dengan hanya mendapatkan 182
suara, sementara 41 suara lainnya tidak hadir dalam persidangan.
Rakyat
sebenarnya rindu dengan sosok pemimpin yang rela melepaskan segala macam dan
bentuk atribut kepartaiannya demi mengabdikan diri untuk bangsa dan negara yang
dicintainya seperti apa yang pernah dilakukan oleh presiden pertama RI, Ir.
Seokarno. Karena memang sejatinya segala macam bentuk keputusan, kebijakan dan
regulasi yang diambil parlemen dan pemerintah haruslah mewakili aspirasi rakyat
sepenuhnya. Namun fenomena saat ini justru terbalik. Pemerintah dan DPR lebih
mengutamakan keputusan berdasarkan asumsi irasional demi partainya meskipun
masyarakat sudah nyata-nyata melakukan penolakan secara massal.
Ketidakmampuan
melepaskan atribut kepartaian belum mampu dilakukan malah permasalahan lain
kembali muncul dihadapan mata telanjang masyarakat dengan kelakuan parlemen
yang terkesan seenaknya sendiri. Terbukti dalam pemberitaan TV swasta nasional
terlihat jelas bagaimana suasana forum sidang paripurna yang terekspos secara
jelas para anggota dewan lebih banyak bersikap guyon dan tidak serius, padahal
rapat paripurna menentukan hajat hidup orang banyak.
Keputusan
memang sudah disahkan secara resmi meskipun pemerintah belum menetapkan kapan
waktunya. Meskipun demikian, pemerintah sudah menjanjikan banyak hal sebagai
bentuk kompensasi atas dampak yang terjadi di masyarakat dengan mengalokasikan
total dana Rp.29,12 triliun , yaitu dengan BLSM Rp.9,23 triliun sebesar 150
ribu untuk 15,5 juta kk selama 4 bulan, pengembangan infrastruktur pedesaan
Rp.7,2 triliun, percepatan perlindungan sosial Rp.12,6 triliun, beasiswa siswa
miskin Rp.7,5 triliun dan raskin Rp.4,3 triliun untuk 15 bulan (SM:19/6/13). Namun
menurut penulis, kompensasi yang diberikan justru sebagai solusi tanpa
prestasi.
Dengan adanya
kompensasi tersebut bukan berarti permasalahan selesai seketika dengan sendirinya,
karena masih banyak dampak-dampak yang membawa efek makro di dalamnya. Maka perlu
adanya kajian ulang, pengawalan dan pengawasan setiap distribusi kompensasi
yang dijanjikan oleh pemerintah. Agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang merugikan masyarakat penerima kompensasi. Sebagai
masyarakat yang berpikiran dewas, dipandang perlu berpikir secara kritis dengan
ikut serta mengawasi secara masif pelaksanaan kompensasi dan masyarakat pun
patut curiga terhadap pengambil kebijakan sebagai kontrol manipulasi atau
persekongkolan berbau politis.
Kecurigaan tersebut
merupakan tindakan moral yang saat ini mungkin saja menjadi bentuk sikap kritik
masyarakat terhadap pemerintah dan DPR atas kebijakan dinaikkannya harga BBM
terlebih dengan iming-iming opsi-opsi kompensasi yang diberikan sebagai “hadiah”
atau menurut hemat penulis sebagai “peredam pesakitan “masyarakat kelas bawah.
Disebut
peredam pesakitan karena pada kenyataannya kompensasi yang ditawarkan pemerintah
lebih bersifat sementara tanpa menghasilkan progress yang bersifat permanen
untuk menolong pertumbuhan ekonomi masyarakat yang semakin jatuh bangun. Sebagian
besar kompensasi juga sebenarnya sudah ada dalam program pemerintah pusat
maupun daerah. Sebut saja raskin, beasiswa lewat dana BOS atau dana ayang
dikelola oleh LPDP yang diselenggarakan oleh
Menkeu, infrastruktur dan perlindungan sosial pun sebenarnya dapat ditempuh
dengan adanya program yang diselenggarakan oleh masing-masing pemerintah daerah
tergantung kebutuhan masyarakat karena pemerintah daerahlah yang sebenarnya
memahami betul perlindungan sosial seperti apa yang dibutuhkan.
Kompensasi yang
mendapatkan perhatian penting adalah BLSM dengan berbagai alasan dan
kecurigaannya. Disamping penuh dengan muatan politis sebagaimana yang pernah dilontarkan
banyak tokoh, tentu masyarakat masih ingat betul dan trauma dengan BLT yang
pernah diberikan pemerintah pada tahun 2005-2006 dan 2008, pada kenyataannya
pun tidak berjalan dengan baik sesuai harapan. Meskipun Wapres Boediono menjanjikan
akan ada perbaikan dalam penyaluran dana BLSM dengan menggunakan data survei
objektif dari BPS dan konsultasi intensif dengan pemerintah daerah (kelurahan
& desa) nampaknya rasa psimisme masih saja menghinggapi benak masyarakat
karena dalam kenyataannya selama ini apa yang dilakukan pemerintah masih
terkesan formalitas tanpa kajian dan evaluasi matang, maka tidak heran jika
pada akhirnya distribusi BLSM mempunyai nasib dengan BLT atau malah lebih buruk
dari prediksi.
Selain penuh
dengan muatan politis dan rasa psimisme mendalam yang dirasakan masyarakat,
BLSM juga dapat dianggap sebagai program tanpa edukasi dan tidak manfaat karena
bantuan yang diberikan secara tunai justru menjadikan masyarakat menjadi
ketergantungan dan malas untuk beraktivitas secara produktif seperti disalurkan
kepada usaha produktif, usaha kecil dan usaha rumah tangga sebagaimana yang
dikemukakan oleh Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Atau disalurkan untuk
pemenuhan pendidikan dan kesehatan gratis sebagaimana diungkapkan oleh ketua frkasi PAN DPRD Jateng Khafid Sirotudin
(SM:19/6/’13). Program seperti itulah yang semestinya dikembangkan dengan
serius oleh pemerintah karena lebih potensial dan membantu. Pemerintah seolah sengaja
memprioritaskan program minim manfaat dan seolah menutup mata dengan adanya
program-program prorakyat yang dapat membantu perekonomian rakyat secara permanen.
Dilihat dari
besaran uang yang diterima oleh masyarakat tidaklah seberapa jika dibandingkan
dengan kebutuhan sehari-hari rakyat miskin, belum lagi jika ada kebutuhan
mendesak diluar perencanaan. Rasionalisainya sudah jelas, bagaimana mungkin
uang 150 ribu dapat mencukupi kebutuhan sementara dampak yang ditimbulkan dari
naiknya harga BBM semakin meluas dan tidak terkendali.
Meskipun pemerintah
gembar gembor akan optimismenya mampu mengendalikan lumpuhnya perekonomian dan
jatuhnya rupiah yang mencapai 10.000 per dolar AS denga didukung data
pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6% dan kurangnya pengangguran sebesar 6,32%
berdasarkan data yang dilangsir oleh lembaga PBB ILO. Namun, pada akhirnya yang
menebtukan bagaimana nasib perekonomian dan keberlangsungan bangsa ini adalah
kenyataan lapangan yang sudah semakin tidak ada kejelasan yang ditimbulkan efek
makro dari dampak naiknya harga BBM.
Nampaknya pemerintah
dengan segala kesombongannya sengaja mempersulit rakyat dengan kebijakan yang tidak
prorakyat dan tidak mendidik. Hal itu mengindikasikan bahwa benar, DPR dan
pemerintah tidak menjalankan apa yang diamanatkan oleh rakyat lewat konstitusi,
perundang-undangan dan pemilu sebagai pelayan rakyat.
Pada akhirnya
keputusan naiknya harga BBM dengan diikuti segala macam bentuk persoalan, dinamika
dan gejala sosial mau tidak mau harus kita terima dengan lapang dada dan sikapi
dengan penuh rasa optimis bahwa apa yang dijanjikan pemerintah dengan
kompensasinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang sehat sehingga
membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Namun jika sebaliknya,
sebagai bansa yang berdaulat yang bosan akan penindasan dan rindu akan
perubahan, maka hanya satu sikap yang pantas untuk disuarakan, tolak dan lawan
sebagaimana sikap pemimpin muda Ganjar Pranowo dan Joko Widodo.
Sudah menjadi
kesadaran umum bahwa kenyataan naiknya harga BBM merupakan bentuk dari tidak
mampunya pemerintah dalam mencari solusi untuk menyelamatkan jebolnya anggaran Negara.
Karena sebenarnya ada solusi yang lebih tepat. Pertama, pemotongan gaji pejabat pemerintahan sebagaimana yang
pernah dilakukan Yunani saat mengalami krisis, kedua, memaksimalkan pembayaran pajak, dan ketiga yang paling penting adalah nasionalisasi aset SDA
pertambangan minyak bumi yang selama berpuluh-puluh tahun dikuasai asing. Faisal
Yusra, Presiden Konferensi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) menjelaskan
bahwa 85 persen industri minyak Indonesia dikuasai sektor asing. Indonesia
mudah dikendalikan negara lain dan hanya 1,3 juta barel kebutuhan minyak Indonesia,
hanya 150 ribu barel saja yang benar-benar punya Pertamina. Maka, Nasionalisasi
mutlak dilakukan sebagai rencana jangka panjang untuk ketersediaan BBM
nasional.
Jika langkah-langkah
strategis tersebut tidak dilakukan maka selamanya pemerintah akan mengorbankan
rakyat dalam mengambil kebijakan dengan berbagai dalih dan alasan untuk mencari
solusi tanpa prestasi sebgaimana kompensasi BBM. Maka sekali lagi, kesenjangan ekonomi
dan sosial akan semakin jelas, angka kemiskinan dan pengangguran akan
meningkat, pertentangan atas kelas pun tidak bisa dihindari lagi.
0 komentar:
Posting Komentar