KULTUR INTELEKTUAL HARGA MATI BAGI MAHASISWA
Indonesia merupakan Negara yang mempunyai
banyak ragam dan kaya akan kebudayaan, bahkan dapat dikatakan Negara yang paling
kaya akan kebudayaannya. Namun semua itu dapat
tercover dalam pancasila dan bhineka tunggal ika meskipun hanya sebatas
ideology. Terlepas dari semua kebudayaan yang mewarnai Indonesia, ada satu
budaya yang belum dimiliki oleh bangsa ini yang sebenarnya sangat urgen dalam
kelangsungan kedaultan sebuah negara, yaitu budaya intelektual (membaca,
menulis sampai pada diskusi). Ironis memeng, sebuah Negara yang mempunyai
kekayaan kebudayaan dan SDA yang berlimpah tidak dibarengi dengan pengembangan potensi
SDM dengan maksimal.
Pengembangan
sumber daya manusia dapat dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai aspek
kehidupan, pendidikan, ekonomi sampai pada politik. Dalam aspek pendidikan
misalkan, Indonesia sampai saat ini belum mampu berbuat banyak perihal segala
persoalan yang melanda pendidikan. Contoh konkrit dapat dilihat dalam hal
pemerataan pendidikan, baik pendidikan SD, SMP, SMA sampai pada perguruan
tinggi, terlebih untuk daerah-daerah terpencil dan terpinggirkan. Dari alasan
inilah kemudian pendidikan terkesan sangat mahal dan menjadi budaya yang sangat
langka bagi bangsa sendiri. Maka jangan heran ketika masyarakat berharap banyak
tentang perubahan kepada mahasiswa yang dianggap mempunyai integritas akademik
maupun intelektual yang tinggi. Terlebih jika masyarakat melabeli mahasiswa
sebagai “actor intelektual”. Tapi kadang kondisi
idealitas tak sesuai dengan kondisi realitas yang ada. Begitu pula status
mahasiswa sebagai kaum intelektual yang ketika kita melirik sejenak pada
realitas, apa yang selama ini dipahami publik bahwa mahasiswa adalah kaum
intelektual tak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sekarang yang terlihat pada
sudut-sudut mayoritas adalah sekumpulan orang hedonis yang tak jelas apa
identitasnya. Sedangkan Mahasiswa Intelektual sebagai kaum yang minoritas sudah
mulai terpinggirkan dan menjadi hal yang langka dalal dunia akademik.
Intelektual
adalah gerakan yang berbasis pada
kebebasan seseorang dalam
menggunakan rasionalnya yang berasaskan kebenaran sejati. Arah pemikiran seseorang
hanyalah pada fakta dan prinsip-prinsip kebenaran. Intelektual sejati akan
bertindak secara rasional, lebih mementingkan akal daripada perasaan, obyektif,
punya integrated pesonality hingga sanggup menyatakan benar dan salah
tanpa pandang bulu. (Shill 1972)
Mahasiswa
sebagai penyandang predikat agen of social control sudah seharusnya
menjadi ujung tombak generasi muda,
sekaligus calon intelektual bangsa, mempunyai peranan signifikan dalam
pergulatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Peranan tersebut, mensyaratkan
mahasiswa untuk mempersiapkan bekal, untuk mengarungi kehidupan di
tengah-tengah kampus dan masyarakat secara umum, dengan mengasah taring
intelektual dan wawasan secara mendalam.
Realita
hari ini, dipundak mahasiswa bergelayut berbagai persoalan bangsa dituntut untuk berpartisipasi, dalam mencari ide-ide
kreatif yang mampu merenovasi bangsa dan negara dari badai krisis ekonomi,
sosial, politik, kredibilitas, yang telah meruntuhkan sendi-sendi utama
penyokong keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan mahasiswa
dituntut untuk selalu bergelut dengan kreatifitas dan membangun budaya
intelektual untuk dirinya sendiri maupun masyarakat secara luas.
Dalam
konteks kebangsaan saat ini, berbagai persoalan tengah menyerang mahasiswa,
tentu yang paling fundamental adalah kian menipisnya sense of intellectual:
sebuah instrument primer, tanpa hal tersebut hampir mustahil actor intelektual
akan mampu menjadi subjek yang mampu
memotori sebuah perubahan karena tumpulnya integritas mahasiswa secara massal.
Karena itu, penguatan sense of intellectual menjadi sebuah keniscayaan
dalam kiprah mahasiswa untuk merealisasikan peran sebagai agen of social
control. Sense of intellectual ini, perlu ditransformasikan kepada tindakan
riil sebagai bentuk pengejawantahannya, yaitu salah satunya adalah intellectual
tradition (tradisi intelektual). Dari sinilah, maka kultur intelektual
menjadi harga mati bagi mahasiswa.
Tersingkirnya
sedikit demi sedikit para intelektual dalam dinamika kemahasiswaan bukanlah
sesuatu hal yang kebetulan tetapi memiliki sebab-sebab yang nyata. Sebenarnya ada
sesuatu yang hilang pada sudut-sudut kampus, yaitu “kultur intelektual”,
seperti kajian, diskusi dan budaya membaca. Budaya-budaya seperti itulah yang
terabaikan dalam dunia kemahasiswaan saat ini. Maka wajar saja bila kampus saat
ini kehilangan atmosfir intelektualnya, intelaktual-intelektual sudah sangat
langka kita temukan dalam kampus karena kultur intelektual dalam kampus kini
mulai hampir terlupakan. Walaupun sebenarnya kajian, diskusi dan budaya membaca
masih bisa kita temukan dalam kampus, tapi kultur intelektual seperti itu sudah
sangat langka kita temukan.
Kampus
yang kini didominasi oleh budaya pragmatisme, dan pengaruh hedonisme, saat ini
terus menerus melahirkan mahasiswa apatis. Dan mahasiswa-mahasiswa seperti
itulah yang kini berkembang biak dalam kampus. Sedangkan mahasiswa intelektual
idealis, Eksistensinya mulai roboh dan terombang-ambing dalam dinamika
kemahasiswaan. Pertanyaannya sekarang adalah dimana posisi kultur intelektual dalam dunia
kemahasiswaan saat ini? Kenyataannya kini sedikit demi sedikit disingkirkan
oleh dominasi pragmatisme culture dan hedonisme. Dulu kampus menjadi
sarang kaum intelektual yang mencintai pengetahuan, kini menjadi sarang kaum
apatis, hedonis pencinta gaya hidup. Dulu mahasiswa rajin membaca buku dan
berkelompok mendiskusikan persoalan sosial, tapi kini mahasiswa semakin rajin
dengan dunianya sendiri untuk berselancar di dunia maya dan membaca status
terbaru di Facebook maupun twitter.
Perlu
disadari bahwa mengapa bangsa ini belum juga mengalami perubahan yang
signifikan kearah yang lebih baik? Itu dikarenakan mahasiswa yang sekiranya
sebagai agen of change yang menjadi pelopor perubahan belum memiliki karakter
yang kuat dan progresifitas dalam mengadvokasi setiap masalah-masalah sosial
yang timpang dibangsa ini. Dalam dimensi kemahasiswaan terjadi diskontinuitas
generasi intelektual dan itu dikarenakan kultur intelektual sebagai instrumen
penyambung generasi intelektual kampus tidak lagi menjadi sebuah perhatian
dalam kehidupan kemahasiswaan saat ini.
Realitaspun
kini kian menampakkan wajah-wajah mahasiswa yang telah tercerabut dari
hakikatnya sebagai kaum intelektual. Teralienasi dari dirinya sendiri, menjadi
pasif dan anti realitas. Belum lagi aturan-aturan kampus yang semakin
mengungkung kemerdekaan mahasiswa. Padahal idealnya kampus menjadi wadah
mahasiswa untuk merubah paradigma dan moralitasnya lewat pintu-pintu akademik
tetapi realitasnya tidak seperti itu. Kampus malah menutup ruang-ruang
kemerdekaan mahasiswa dengan aturan yang tidak berpihak pada mahasiswa. kampus
diharapkan dapat menciptakan manusia yang sadar akan realitas yang timpang kini
malah menciptakan manusia apatis yang masa bodoh dengan perubahan.
Siapapun
yang sadar akan realitas kemahasiswaan saat ini yang kian mencapai titik
kehancurannya, adalah tugas kita bersama untuk membangkitkan kembali ruh
mahasiswa sebagai kaum intelektual. Untuk mewujudkan hal itu yang menjadi
perhatian kita bersama adalah membangkitkan kembali kultur intelektual dalam
kampus, membangun kembali kelompok-kelompok diskusi disetiap lembaga
kemahasiswaan karena kultur intelektual seperti itu adalah instrumen yang
substansial dalam membina mahasiswa menjadi kaum intelektual. Dan yang pasti
intelektual yang mesti dibina adalah intelektual yang ideologis, berkarakter, revolusioner
yang memiliki semangat perubahan.
Meminjam
terminologi Ali Syariati intelektual seperti itu disebut sebagai rausyanfikr
yaitu seorang yang tercerahkan yang memiliki intelektualitas yang tinggi.
Dengan intelektualitasnya yang tinggi tersebut ia terpanggil untuk memperbaiki
masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat
dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah dan
sekaligus menjadi pelopor dalam perubahan tersebut. Hal ini harus kita
perhatikan secara seksama karena terkadang dalam membina
intelektual-intelektual kampus, hasil yang dicapai bukanlah melahirkan
intelektual revolusioner namun intelektual pragmatis yang sering kali
berselingkuh dengan penguasa zalim dan sering kali pula mempergunakan
kecerdasannya dalam mempertahankan status quo. Saat menyandang status mahasiswa
mereka berkoar dalam meneriakkan suara-suara pembebasan namun selepas menjadi
mahasiswa mereka malah menjadi penindas-penindas baru.
Hal
ini mengindikasikan bahwa esensi keintelektualan sebenarnya bukan terletak
hanya pada apakah seseorang itu memiliki ilmu atau tidak, melainkan juga
tercermin dari komitmennya pada nilai-nilai ideologis yang menjadi acuan gerak
dalam melakukan sebuah transformasi sosial dalam masyarakat. Intelektual sejati
bukan hanya komitmen pada dimensi epistemologis namun diukur dari komitmen
ideologisnya.
Sebenarnya
hal ini telah menjadi sebuah diskursus yang sejak dulu ingin direalisasikan
namun tindakan perealisasiannya belum sampai pada titik yang maksimal. Maka
dari itu diperlukan perhatian intensif untuk berfikir bahwa kultur intelektual merupakan harga mati
yang tidak dapat ditawar bagi mahasiswa.
0 komentar:
Posting Komentar