NEPOTISME NU, WARISAN SEJARAH ATAU SISTEM TERSTRUKTUR?
Pengertian pendidikan Islam menurut M. Fadhil
al-Jamali dalam bukunya yang berjudul Falsafah
Pendidikan dalam Al-Qur’an sebagaimana dikutip oleh Ali Murtadlo adalah
sebuah upaya untuk mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih
maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia,
sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan
akal, perasaan maupun perbuatan (Ali Murtadlo:2012).
Arthur Berstor dalam sebuah tulisannya yang berjudul
Dasar-Dasar Pendidikan menjelaskan
Fungsi utama pendidikan sekolah adalah sebuah agen pelatihan intelektual yang menentukan dan berkaitan dengan
sumbangan khasnya pada umat manusia (Paulo Freire,et.al: 2009).
Sementara itu, Jusuf A. Faisal lewat tulisannya yang
berjudul Beberapa Langkah Pemula Menuju
Pembaharuan Pendidikan Tinggi Islam menjelaskan beberapa tujuan strategis Pendidikan
Tinggi Islam, ialah: Pertama,
menciptakan manusia yang beriman, yang meyakini suatu kebenaran dan berusaha
membuktikan atau membudayakan kebenaran tersebut melalui akal (intellect) dan rasa. Kedua, melaksanakan tugas kemanusiaan
yang menyampaikan amar-ma’ruf dan nahy-munkar sesuai dengan keahlian profesionalnya maupun
kesanggupannya sebagai manusia yang merupakan anggota masyarakat (Jufuf A.
Faisal: 1978).
Dari uraian tentang maksud, tujuan dan fungsi sebuah
pendidikan sebagaimana dijelaskan diatas, sudah semestinya kita bersama
mengetahui dan menyadari bagaimana seharusnya sebuah Perguruan Tinggi dikelola
dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, tidak malah dikelola untuk
kepentingan pribadi, keluarga, kerabat atau orang terdekat. Karena praktek
semacam itu merupakan indikasi terjadinya proses keberlangsungan nepotisme yang
sejatinya menjadi larangan dan harus dijauhi oleh semua orang dalam pengelolaan
sebuah lembaga (terlebih lembaga yang berbasis NU).
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah
praktek nepotisme yang selama ini terjadi di dalam segala sektor merupakan
warisan sejarah atau produk persekongkolan elit tertentu yang sengaja dibuat
secara terstruktur dan sistemik demi melindungi eksistensi dan kepentingannya?
Pertanyaan seperti inilah yang perlu dijawab secara jujur berjamaah tanpa
adanya sikap saling curiga satu sama lain dalam rangka evaluasi diri maupun
struktur kelembagaan.
Dalam rangka
evaluasi dan bermaksud menjawab pertanyaan diatas tidak lah ada salahnya jika kita
menengok sedikit kebelakang dan menghayati sejarah berdirinya organisasi islam
terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama’), kita akan menemukan sebuah fenomena
yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam yang kemudian menjadi penting
untuk bahan evaluasi dan tolak ukur perjalanan NU selama ini.
Sudah menjadi rahasia bersama bahwa sejak berdirinya
NU, kekuasaan ditubuh NU terpusat pada segelintir elit keluarga kiai yang
mengandalkan pesantren besar seperti Tebuireng, tambak beras dll. Berdasarkan
pengamatan Martin van Bruinessen, elit ini berfungsi hampir seperti kasta dalam
agama. Mereka mempraktikkkan perkawinan antar kerabat dan nepotisme, dan jalan
masuk ke klan (bani) kiai sering kali hanya terbatas bagi santri yang luar
biasa, yaitu mereka yang mempunyai kemampuan mengajar dan pengetahuan agama
yang dibutuhkan di pesantren, yang kawin dengan anak kiai. Kepentingan keluarga
baik ekeonomi maupun sosial, dijaga ketat.
Dominasi keluarga keluarga tersebut terlihat jelas
dari posisi yang mereka pegang di NU. Kelompok Hasyim-Wahab merupakan porosnya.
Dua tokoh utama dalam sejarah NU, merupakan saudara sepupu dan masing-masing
pimpinan Ponpes Tebu Ireng dan Tambak Beras. Bisri Syamsuri yang menjadi rais am ketiga adalah ipar dari Wahab dan
juga pendiri pesantren Denanyar. Lima
dari 15 menteri berlatar belakang NU di era keprisedenan Soekarno (1945-1967)
mempunyai hubungan keluarga dengan kelompok Hasyim-Wahab.
Anak tertua Hasyim Asyari menikahi anak perempuan Bisri
sehingga ia menjadi kemenakan Wahab; Muhammad Ilyas dan Masykur, keduanya
pernah menjabat sebagai Menteri Agama, masing-masing adalah kemenakan dan cucu
ipar Hasyim; Wahib Wahab (lahir 1918) yang pernah menjabat dua kali sebagai
menteri selama periode demokrasi terpimpin adalah anak tertua Wahab; Saifudin
Zuhri (1919-1986) yang pernah menjabat Menteri Agama pada 1960an adalah anak Wahab.
Kiai terkenal yang masih mempunyai hubungan keluarga elit jombang tersebut
adalah adalah kiai Munaf Abdul Karim, pendiri Lirboyo, yang merupakan kemenakan
Hasyim Asy’ari, dan kiai Machrus Ali (1906-1985)
adalah menantu dan penerus kiai Manaf. Kiai Ma’sum pendiri Lasem adalah menantu
Hasyim Asy’ari, dan masih banyak tokoh
kiai yang memang secara langsung banyak tokoh
lainnya yang meskipun tidak mempunyai hubungan keluarga.
Kekuasaan dikendalikan, terutama melalui hubungan
keluarga dan jaringan patronase. Kiai senior menempatkan anggota keluarga atau
pengikut yang dipercaya di jabatan yang berpengaruh dalam NU, dan dari situ,
orang-orang yang ditempatkan tersebut dapat mengembangkan karirnya sekaligus
menjalankan kepentingannya.
Dalam keadaan seperti itu, umumnya terjadi tawar
menawar tak terucap antara ‘patron’ dan ‘klien’ yang menjamin keuntungan bagi
keduanya. Sang kiai mengandalkan kliennya untuk menyuarakan pandangan serta
kepentingannya, sedangkan klien tergantung pada sang kiai dalam hal otoritas
serta keamanan karirnya. Dengan demikian, struktur kekuasaan dalam tubuh NU bersifat
vertikal dan didasarkan pada hubungan kekeluargaan atau hubungan pasangan
kia-santri (Greg Fealy: 2009).
Fakta tentang ketidak adilan tersebut semakin parah
ketika para muslim umumnya ikut serta memberi legitimasi dengan memberikan
sumbangan harta dan uang kepada sang kiai dengan harapan akan mendapat pahala
dan meraih gengsi sosial.
Justru yang menjadi keprihatinan bersama adalah
merambatnya praktek nepotisme tersebut kini perlahan mulai masuk dalam lembaga
pendidikan, baik dasar maupun tinggi yang hidup dinaungan yayasan Nahdlatul
Ulama’. Pengungkapan atas realitas sebagimana diatas bukanlah berorientasi pada
maksud pembongkaran kejelekan suatu lembaga tertentu atau sejarah kelam sebuah organisasi, akan tetapi
lebih pada maksud introspeksi diri dan evaluasi atas apa yang kita –orang
nahdiyyin- lakukan dalam konteks kebaikan, kebenaran, kejujuran,
profesionalisme dalam menjalankan sebuah lembaga pendidikan.
Jika tidak berlebihan, apa yang menjadi bahasan atas materi ini merupakan sikap protes dan maksud meneladani
apa yang pernah dilakukan oleh Muhammad Natsir pasca revolusi (1950an) yang dengan
lantang berani menggoyang keseimbangan yang telah mapan di antara kaum tua
(tradisionalis) dan kaum muda (modernis). Bukan lah menjadi kesalahan jika kita
juga membenarkan sikap Natsir yang beranggapan bahwa situasi mutakhir yang
dihadapi saat ini adalah kebutuhan akan pemimpin-pemimpin yang mempunyai visi,
berwawasan modern dan professional dalam bidangnya untuk memulihkan kondisi
bangsa yang berada dalam ambang krisis kompetensi dan kepercayaan. Begitu juga
kiranya dengan apa yang kita inginkan tentang bagaimana mestinya sebuah lembaga
pendidikan dalam berperan mencerdaskan mahasiswa. Meskipun dengan jalan
penggusuran terhadap angkatan tua kaum tradisionalis maupun kaum muda yang
hanya menjadi benalu dan tidak punya niat ikut serta memperjuangkan keberlangsungan
cita-cita institusi.
Kekhawatiran yang paling mendalam adalah terjadinya
praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan terlebih Nepotisme) yang semakin mengakar kuat
dilingkungan institusi pendidikan yang pada akhirnya justru mengorbankan
kepentingan civitas akademika (terlebih mahasiswa) sebagaimana yang diamanatkan
dalam konstitusi hanya karena alasan
balas budi atas tokoh/kiai yang dianggap mempunyai jasa besar dimasa lalu. Apakah
pantas jika balas jasa diterapkan dalam sebuah institusi pendidikan –yang di
dalamnya terdapat banyak sekali kewajiban nasional- yang kemudian mengalahkan cita-cita dan esensi pendidikan?. Tidakkah
balas jasa dapat dilakukan dengan berbagai cara yang lain selain hanya
membonceng menjadi benalu pada kepentingan luhur pendidikan?. Saya pikir, semua
orang telah memahami bagaimana cara membalas jasa dengan bijak tanpa
menelantarkan kepentingan yang lebih besar, hanya saja sebagian orang (pelaku
nepotisme) sengaja berlagak bodoh dan menutup mata hati tentang bagaimana
membalas budi yang baik.
Jika praktek semacam ini terus menerus dibudayakan,
sudah pasti semua orang akan semakin berpikir negative, sentiment dan menaruh
curiga pada lembaga-lembaga yang menggunakan label NU, baik yang tidak
melakukan KKN maupun yang benar-benar melakukan KKN secara terselubung maupun
terstruktur. Semua lembaga akan mendapatkan pelabelan buruk dari public meskipun pada
dasarnya praktek semacam itu hanya dilakukan oleh oknum tertentu demi
kepentingannya sendiri. Yang perlu digaris bawahi atas realitas yang terjadi
adalah sejatinya NU tidaklah ikut serta dalam
segala macam pelaksanaan keburukan social, NU hanya menjadi korban atau
kambing hitam atas kepentingan oknum tertentu yang mengatas namakan dirinya
sebagai warga nahdiyyin.
0 komentar:
Posting Komentar