MEMAKNAI ULANG TOLERANSI BERAGAMA

Belakangan ini, agama adalah sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa nama agama (mengatasnamakan agama) sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan.
Tidak lepas dari fakta diatas, kita juga kerap kali melihat konflik ditengah – tengah masyarakat yang menimbulkan korban kemanusiaan yang begitu besar. Masih segar dalam ingatan kita tentang kasus-kasus kerusuhan antar etnis dan terlebih agama yang seolah semakin hari semakin tidak jelas solusi yang ditawarkan. Hal serupa dapat juga kita lihat pada level Internasional, seperti kasus pengeboman WTC, 11 Nopember 2001, yang telah menelan korban begitu besar.[1]

Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan social bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Karena itulah kita tidak bisa memaksakan satu pandangan, sebab dalam pribsip islam sendiri sudah dijelaskan bahwa  sebuah keyakinan harus dipeluk dengan kebebasan, seperti halnya dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah”.[2]


Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.[1] Dapat pula diartikan dengan sifat atau sikap toleran; dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling berhubungan dengan penuh.[2]  Jadi, toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau system keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik, adalah simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya. Demikianlah yang bisa kita simpulkan dari celotehan para tokoh budaya, tokoh sosial politik dan tokoh agama diberbagai negeri, khususnya di Indonesia . Maka toleransi itu adalah kerukunan sesama warga negara dengan saling menenggang berbagai perbedaan yang ada diantara mereka.

KONSEP TOLERANSI DALAM ISLAM
            Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Allah dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Allah sudah mengajarkan pada kita cara untuk menghadapi  keragaman yang memang tidak bisa dipungkiri, yaitu dengan menerima perbedaan sebagai nikmat atau rahmat. Artinya perbedaan itu sebagai suatu berkah, karena dengan perbedaan itu, kita bisa saling dialog, kenal mengenal, menguji argument tanpa melihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat.[3]
            Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
            Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Ada beberapa prinsip yang tidak boleh diabaikan sedikitpun oleh umat islam dalam bertoleransi dengan penganut agama lain yaitu :
  1. Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya agama yang diridhoi disisi Allah hanyalah islam”.(Al-Imran: 19) yang artinya: “Barangsiapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari padanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”.
  1. Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah didunia ini adalah pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun kepadanya. Dan kebenaran itu hanya ada di agama Allah.
Allah berfirman:”Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka janganlah engkau termasuk kalangan orang yang bimbang.”( Al- baqarah :147 )
  1. Kebenaran Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun yang selainnya untuk kepastiaan kebenarannya.
Sebagaimana firman Allah: “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku lengkapi nikmatku atas kalian dan Aku ridhoi islam sebagai agama kalian”. (Al-Maidah: 3)
  1. Kaum mu’minin derajat kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi daripada orang-orang kafir (non-muslim) dan lebih tinggi pula daripada orang-orang yang munafik (ahlul bid’ah).
 Allah menegaskan yang artinya: “maka janganlan kalian bersikap lemah dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (Al-Imran: 139)
  1. Kaum muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin.
Allah  berfirman:“Katakanlah: wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku”. (Al-Kafirun: 1-6).
  1. Kaum muslimin jangan lupa bahwa orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin menyimpan dihati mereka kebencian tradisional terhadap kaum muslimin, khususnya bila kaum muslimin mengamalkan agamanya.
Firman Allah:“Orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (Al-Baqarah: 120)
  1. Kaum muslimin dilarang menyatakan kasih sayang dengan orang-orang kafir dan munafik yang terang-terangan menyatakan kebenciannya kepada islam dan muslimin. Seperti yang dijelaskan dalam surah Al-Mujadilah: ayat 22.

Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim
            Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:
Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat[4].
             Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.Ayat di atas juga memerintahkan orang mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS.Al-Hujurat:12)
            Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan pendapat yang mungkin terjadi pada keluarga atau pada saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah).

PRINSIP TOLERANSI UMAT ISLAM DENGAN AGAMA LAIN
Sedikitnya ada tiga hubungan toleransi diantara kaum muslimin dengan orang-irang kafir sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah  sebagai berikut :
  1. Kaum muslimin walaupun sebagai penguasa dilarang memaksa orang-orang kafir untuk masuk islam.
Firman Allah: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. (Al Baqarah: 256)
  1. Kaum muslimin harus tetap berbuat adil walaupun terhadap orang-orang kafir dan dilarang mendhalimi hak mereka.
Allah Berfirman: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka. Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikandan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan kemaksiatan dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)
  1. Orang-orang kafir yang tidak menyatakan permusuhan terang-terangan kepada kaum muslimin, dibolehkan kaum muslimin hidup rukun dan damai bermasyarakat, berbangsa dengan mereka. Seperti yang diterangkan Allah dalam surah Al-Mumtahanah: 8-9
Dengan tiga patokan bermasyarakat dengan orang-orang kafir sebagaimana tersebut diatas, maka umat muslim dapat berhubungan baik dan bertoleransi dengan orang-orang kafir, bukanlah karena mencintai mereka. Tetapi semata-mata karena agama Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik dengan orang yang mempunyai keyakinan berbeda dengan kita. Sehingga orang-orang kafir yang hidup dimasyarakat muslimin mempunyai hak sebagai tetangga.

Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama (Non-Muslim)
            Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
            Sikap toleransi antar umat beragama bias dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.
Mengenai system keyakinan dan agama yang berbeda-beda, didalam al-Qur’an ayat terakhir dari surah al-Kafirun sudah dijelaskan:
untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Bahwa perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
            Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.
            Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.
            Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS. Al-Mumtahanah: 8).

SIKAP TOLERANSI
Sebenarnya ada banyak sekali sikap toleransi, namun disini hanya akan dibahas sedikitnya dua sikap yang memang dianggap sesuai dengan pembahasan, yaitu :

1.      Saling Menghormati Sesama
Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya. Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.
Toleransi beragama berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya.
2.      Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Dalam soal beragama, Islam tidak mengenal konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi. Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya tapi pada kenyataanya tidak, sebab prinsip islam, keyakinan itu harus dipeluk dengan kebebasan, seperti dijelaskan dalam surat al-Baqoroh ayat 256.
Persoalan keyakinan atau beragama adalah terpulang kepada hak pilih orang per orang, masing-masing individu, sebab Allah Subhanahu wata’ala sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia oleh Allah diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meski demikian, Islam tidak kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu mau beriman.



[1]. M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi. hal 144-145
[2]  M. Quraish Shihab, Tafsir Misbah. pesan, kesan dan keserasian al-Quran, hal.551


[1] Kamus Besar B.Indonesia Edisi. 2 Cetakan 4 Th.1995
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Edisi ke-3. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal. 1204
[3] M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi. hal 118
[4] Al-qur’an al-karim, QS. Al-Hujurat ayat 10

0 komentar:

Posting Komentar