REVITALISASI ISLAM; TINJAUAN FIRKOH, ISLAM KULTURAL & STRUKTURAL


Toleransi umat beragama, amar ma’ruf nahi mungkar dan ajaran-ajaran kebaikan yang dibawa setiap agama terlebih agama Islam merupakan suatu konsep ajaran yang sangat penting  sebagai alat untuk menjalani kehidupan sehari-hari. kewajiban sebagai seorang muslim yang berpikir dan bertanggungjawab  dalam urusan keagamaan dan sosial adalah berupaya untuk mengamalkannya. Dari proses pengamalan tersebutlah maka muncul beragam sekte, golongan, madzhab sebagai respon atas perbedaan menginterpretasikan ajaran yang dibawa oleh sebuah agama tertentu, tidak terkecuali adalah Islam. Dalam faktanya justru agama Islam lah yang kemudian tampil sebagai agama yang paling banyak menelurkan madzhab, baik yang mengusung ideologi liberalis, modernis, literalis sampai pada radikalis.

Dalam perkembangannya, Islam kultural merupakan gerakan yang mulai muncul pada tahun 1970 sebagai mainstream (arus utama) yang mengusung konsep budaya lokal, tujuannya adalah tercerminnya perilaku keseharian yang berasas islam. Hasan Tibi menjelaskan bahwa gerakan revitalisasi (culture revitalitalization) islam merupakan sumber etik dan moral serta landasan kultural bangsa indonesia dalam bersikap berkehidupan  sehari-hari.
Mengenal Firkoh Islam
Muksin Jamil (2009) dalam menanggapi fenomena beragamnya aliran tersebut justru mengelompokkan menjadi dua aliran, yaitu: kelompok literalis dan kelompok liberalis. Kelompok literalis merupakan aliran dimana mereka lebih memandang sebuah ajaran islam sebagaimana terkandung dalam tekstalitas al-qur’an atau hadis, dengan begitu semua ajaran yang terkandung di dalam kitab suci bersifat benar dan absolut, namun dampak yang ditimbulkan dari penafsiran semacam itu adalah ajaran islam  menjadi terbatas dan cenderung inklusif. Sedangkan kelompok liberalis justru mengkritik kelompok literalis yang berpendapat bahwa hukum syari’at islam yang terkandung di dalam al-qur’an  belum tentu dapat diterpakan sesuai dengan apa yang ada secara tekstual namun terlebih dahulu melihat konteksnya. 
Dari penjelasan kedua aliran islam tersebut maka kita dapat mengetahui bagaimana corak masing-masing dalam konteks penafsiran dan pengamalan ajaran syari’at islam. Aliran  literalis misalkan lebih menampilkan diri sebagai kelompok islam radikalisme dan bersikap lebih tertutup dan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan sosial keagamaan. Maka tidak heran jika aliran literalis ini dimotori oleh kelompok-kelompok garis keras semacam FPI, HTI, NII, kaum salafi, wahabi dll karena dalam proses pengajarannya mereka sangat menjunjung tinggi apa yang tercantum dalam al-qur’an. Peristiwa peperangan yang disebabkan oleh kaum radikalisme dalam sejarah indonesia pun pernah terjadi yang dikenal dengan perang Padri yang terjadi di Padang Sumatera pada tahun 1821-1837.
Sedangkan aliran liberalis lebih menggunakan cara-cara yang lebih moderat, santun, terbuka, akomodatif dan halus maka kemudian islam corak seperti ini disebut dengan istilah islam tradisi yang dalam konteks keindonesiaan dimotori oleh Nahdlatul Ulama’ yang bermadzab sunni. Sebenarnya selain NU, Muhammadiyah pun dapat digolongkan sebagai kaum liberlalis karena sikap moderatnya yang tampilkan akhir-akhir ini, meskipun dalam sejarah agama islam indonesia Muhammadiyah juga pernah menolak ajaran yang disampaikan oleh NU dengan dalih praktik ajaran tahayul, bid’ah dan khurafat.
Realitas munculnya dua kelompok ajaran islam yang mewarnai kehidupan agama islam  tentu bukan tanpa alasan atau sebab tertentu, pasti terdapat latarbelakang yang sangat berkaitan antara sebab satu dengan yang lain. Dalam hal ini paling tidak terdapat tiga latar belakang munculnya firkoh. Pertama, geopolitik, munculnya aliran-aliran tersebut karena adanya kepentingan yang dibawa masing-masing kelompok. Karena adanya perbedaan kepentingan dan pemikiran maka yang timbul adalah perpecahan dengan membawa kepentingan golongnnya masing-masing. Kedua aspek sejarah, dalam sejarah kerajaan Turki Usmani kita semua tahu bahwa perbedaan masih menjadi sisi aspek kehidupan yang dilindungi  dan dijunjung tinggi, namun karena munculnya kepentingan untuk menguasai minyak bumi yang didalangi oleh Amerika seikat dan Inggris maka kemudia muncul firkoh-firkoh yang saling berebut untuk menguasai minyak bumi. Maka tidak heran jika sampai saat ini AS dan Inggris menyerang negara Arab yang menganut faham Sunni dan Syi’ah karena mereka yang memegang kendali minyak bumi negara Timur tengah. Fenomena tersebut sekaligus mempertegas bahwa munculnya aliras islam disebabkan juga oleh faktor ekonomi yang sekaligus menjadi latarbelakang ketiga.
Islam Kultral dan Struktural                         
Latar belakang munculnya dua aliran islam dalam konteks islam indonesia dapat dilihat dari  posisi organisasi islam terbesar indonesia NU dan Muhammadiyah. Dari segi ekonomi sudah terlihat secara jelas bahwa NU lebih terlihat miskin dari pada perekonomian Muhammadiyah. Dari segi sejarah pendidikan indonesia juga ditemukan bahwa Belanda lebih memilih Muhammadiyah dari pada NU, karena NU menolak konsep pendidikan yang ditawarkan dengan tetap mempertahankan sistem pesamtrennya, sementara Muhammadiyah menerima apa yang diberikan Belanda. Hal ini juga menjadi latarbelakang kenapa NU dalam menyampaikan dakwah islam melalui jalur kultural sedangkan Muhammadiyah melalui jalur struktural.
Membincang islam kultural dan islam struktural kiranya sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut karena dalam perjalanannya pun melibatkan tokoh-tokoh penting  islam indonesia. Diantaranya adalah Gus Dur sebagai wakil dari islam kultural dan Amin Rais dari islam struktural. Terlepas dari perdebatan yang diwakili oleh kedua aktor intelektual tersebut kiranya kita perlu mengetahui bahwa apa yang dimaksud dengan islam struktural merupakan gerakan islam yang dilakukan lewat jalur kepartaian sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, baik partai yang berasakan keislaman secara symbolik atau ideologi pemikiran atau melalui jalur strutur pemerintah sebagaimana yang dilakukan Gus Dur sendiri saat menjadi Presiden RI. Namun kenyataannya jalur struktural yang pernah dilakukan oleh tokoh nahdiyyin pun tidak mampu mewujudkan masyarakat sejahtera sebagaimana tergambar dalam konsep civil society. Maka kemudian pada muktamar NU Bondowoso merekomendasikan untuk kembali pada khittoh 1926 yang secara otomatis memperjuangkan dakwah islam melalui jalur kultural yaitu penguatan pada masyarakat islam.
Menentukan Sikap
Dengan adanya berbagai paham yang masing-masing menampilkan diri sebagai kelompok yang “paling” benar berdasarkan pemahamannya terhadap ajaran islam tentu kita seolah menjadi semakin dibuat bingung dan bimbang dalam menentukan sikap dan posisi gerak dalam kehidupan sosial keagamaan karena pada kenyataannya kita berada di tengah-tengah mereka tanpa mampu menghindar dan mungkin saja kita tidak boleh menghindarinya. yang perlu dilakukan sekarang adalah bersikap moderat dan terbuka terhadap ajaran yang menyambangi kehidupan kita. Artinya, kita tidak boleh terlalu memihak/fanatik terhadap salah satu paham tertentu karena dengan demikian yang ada hanya justru kita dapat terperangkap dan tersesat oleh keberagaman tafsir yang di keluarkan oleh masing-masing kelompok. Begitu juga dalam konteks dakwah islam, sekali lagi kita dihadapkan dalam dua pilihan prototype islam kultural dan struktural yang ikut serta semakin membuat kita berpikir lebih keras dan hati-hati untuk mengambil keputusan yang cerdas.
Keputusan cerdas disini yang dimaksud adalah kita mampu bersikap adil dalam menilai dan  menerima segala sesuatu yang datang, sesuatu yang ada di kehidupan sosial keagamaan kita termasuk mensikapi sebuah ajaran. Bukankah Pramodya Ananta Toer sudah mengajarkan pada kita bahwa seorang terpelajar harus dapat adil sejak dalam pikirannya, apalagi dalam bersikap dan berperilaku. Maksudnya adalah dalam menilai sebuah ajaran kadang kita perlu bersikap literalis dalam konteks akidah begitu juga kita perlu bersikap liberalis dalam konteks pengamalan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan bersosialisasi. 
Sebagai closing statement tidak ada salahnya jika kita memahami dengan seksama apa yang pernah disampaikan Harun Naution bahwa sesungguhnya umat Islam dapat memasuki kehidupan modern dan mampu bersaing dengan kemajuan yang datang dari barat tanpa kehilangan sikap kesalehan yang jadi watak dasar Islam tradisional. Maka yang paling diperhatikan pada bidang agama ialah upaya mengubah sikap mental tradisional pada mental rasional, dengan kata lain filsafat hidup tradisional diubah liberal. Karena rasionalitas dapat terbuka dan menerima liberal dan sebagai pengakuan akan kemampuan manusia dalam meneladani faham kebebasan berkehendak.

Tulisan ini merupakan hasil diskusi sahabat-sahabat PMII yang peduli dengan kajian-kajian dan wacana yang tergabung dalam “forum kita” Jepara.

0 komentar:

Posting Komentar