KONSEP CIVIL SOCIETY
SEKAPUR SIRIH PENGANTAR
Masyarakat madani, konsep ini
merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama
kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium
Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September
1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan
bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban
maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip
moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat
Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka,
yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh
masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah
kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu
ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan
rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).
Perujukan terhadap masyarakat
Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur
masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini.
Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk
Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya
(lihat, QS. Ali Imran [3]: 105).
Konsep masyarakat madani
adalah sebuah gagasan yang
menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan
mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif
bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata
masyarakat mempunyai pengertian sejumlah manusia dalam arti luas yang terikat
oleh sebuah kebudayaan yang dianggap sama. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, vol.2: 721). Sedangkan kata madani mempunyai adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai, hukum yang ditopang oleh
penguasa iman, ilmu, teknologi yang berperadaban (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995,
vol.2: 694).
Allah SWT juga memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S.
Saba’ ayat 15: Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada
tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di
sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu
dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha
Pengampun”.
Sedangkan pengertian Organisasi
adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih yang dalam konteks masyarakat madani
berfungsi sebagai wadah atau alat untuk mewujudkan masyaraka madani (civil
society), baik dengan organisasi formal maupun informal.
KONSEP MASYARAKAT MADANI
Gagasan masyarakat madani atau civil society seperti yang sedang dikembangkan
di tanah air dipelopori oleh Cak Nur dkk- merupakan suatu model menmembangkan
kembali khazanah doktrin agama Islam.
Civil Society diorientasikan kepada model eksperimen masyarakat Madinah pasca
hijrah Nabi SAW. Dengan demikian Civil Society tidak harus dipahami seperti
civil society atau al-Mujtama' al-Madanisebagairnana dikembangkan di Dunia
Arab yang merupakan translasi dari konsep civil society seperti dikembangkan di
Barat, Amerika Latin, Eropa Selatan dan Eropa Timur, yaitu sekedar sebagai
masyarakat di luar negara, melainkan lebih merupakan suatu sistem yang meliputi
dimensi sosial, politik, budaya, dan ekonomi (Nur Sayyid Santoso Kristeva,2011:168).
Makna Civil Society “Masyarakat
sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan
berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang
pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya.
Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis,
istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke,
dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang
mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja
(Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil
Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah
istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”.
Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan
masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di
masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara
keduanya.
Perbedaan lain antara
civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah
modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan
masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai
moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat
madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini
Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka,
egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang
bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep
yang memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda.
Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau
masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley
dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the
sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the
market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani,
diantaranya:
1. Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya
kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat
dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya
program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program
pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya
kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan
pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya
kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya
kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya
pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai
ragam perspektif.
8. Bertuhan,
artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
9. Damai,
artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara
kelompok menghormati pihak lain secara adil.
1. Tolong
menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi
kebebasannya.
1. Toleran,
artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh
Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak
lain yang berbeda tersebut.
1. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial.
1. Berperadaban
tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
1. Berakhlak
mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya
dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis
dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam
menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana
pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga
negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Bila kita
kaji lebih jauh, maka ada
beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni
adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan
berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil
yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility
dan civil resilience).
1. Apabila
diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb: Terpenuhinya
kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya
modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif
bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya
kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya
diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya
akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak,
kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan
publik dapat dikembangkan.
5. Adanya
kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya
sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan
sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya
jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka
masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan
terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya
dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi
manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam
proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Konsep Masyarakat Madani semula
dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam
suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses
demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian
memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu
kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun
1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan
sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi.
Prinsip terciptanya masyarakat
madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari
Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah
refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam
mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Setidaknya ada tiga karakteristik
dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme.
Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan
sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam
pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT
(sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat
13. (Muhammad Imarah:1999).
Kedua, adalah
tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim
maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan
sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Ketiga, adalah
tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah
musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi
dengan musyawarah, terkadang civil society dipandang dalam
arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di
dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat
Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya
menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial
masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi
modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.
PERAN UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI
Dalam sejarah Islam, realisasi
keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah.
Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu
pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang
lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama
ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam
al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain. Paling tidak
ada dua peran yang sangat fundamental kaitannya dalam mewujudkan civil society:
D.1 Kualitas
SDM Umat Islam
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110
dijelaskan Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari
semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam
itu adalah keunggulan kualitas SDMnya dibanding
umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an
itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
D.2 Posisi
Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu
menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, belum
mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam
lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu
memberikan peran yang proporsional. Hukum positif, sistem sosial
politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan
tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi. 2 Cetakan 4, Jakarta: Balai Pustaka,1995
M. Quraish Shihab, Tafsir Misbah. (Pesan,
Kesan Dan Keserasian Al-Quran), Jakarta: Lentera Hati, 2002
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi. 3 Cetakan 4, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Sayyid Santoso Kristeva, Nur. Manifesto
Wacana Kiri: Institut For Philosophical And Social Studies, 2011.
0 komentar:
Posting Komentar