MENANTI DKD DALAM KEBUDAYAAN JEPARA


Tulisan ini saya persembahkan untuk kawan-kawan, saudara-saudara dan sedulur-sedulur pegiat, pelaku seni budaya Jepara. Tulisan ini dibuat persis setelah pelantikan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Jepara resmi dilantik oleh Sekda Kabupaten Jepara, ir. Sholih di Pendopo Kabupaten Jepara. ke sajaungkinan besar ketika kata-kata ini disusun dengan sederhana, rangkaian acara pelantikan yang diselenggarakan oleh panitia masih berlanjut. Meskipun tidak secara utuh mengikuti rangkaian acara sampai selesai bukan berarti data sebagai rujukan valid untuk menuangkan dan menjelaskan kemana arah tulisan ini bermuara kiranya dianggap cukup apa yang ditulis nanti menjadi pertimbangan atau -hanya sekedar- gambaran apa yang musti dilakukan pasca pelantikan. Bukan bermaksud menggurui para profesional seni budaya, namun bukankah menerima sebuah kebenaran, menerima saran dan kritik dengan rendah diri menserminkan kedewasaan pola pikir?



Adalah sebuah kalumrahan jika dalam sebuah organisasi terdapat ritual yang dinamakan pelantikan anggota. Karena pada kenyataannya memang pelantikan dianggap sebagai pembukaan yang bersifat inklusif normatif sebelum memetakan program kerja strategis. Disis lain, sebagian orang bahkan pelaku organisasi tertentu menganggap bahwa ritual pelantikan hanya sebatas mengucap kata-kata sumpah jabatan dan sebagai deklarasi publik atas pengakuan masyarakat bahwa seorang tertentu menjadi anggota organisasi, tanpa menengok sedikitpun tentang makna atau maksud dari ritual tersebut. Namun, ada juga sekelompok orang yang memang secara tulus ikhlaskan diri untuk memahami dan menghayati secara mendalam apa sebenarnya makna dari ritual tahunan tersebut. Kiranya layak mendapat apresiasi dan pelajaran yang berharga bagi mereka yang mampu memahami secara benar arti sebuah sumpah jabatan karena tidak hanya perwujudan dari tingkah bahasa verbal yang terucap secara retoris, namun sejatinya di dalamnya terkandung ikatan tanggungjawab yang bersifat vertikal maupun horizontal. Posisi inilah yang kemudian sebagian besar orang yang berkiprah dalam organisasi maupun saksi sumpah jabatan menganggap sebagai kewajaran bersama. Persoalan pelatikan hanya menjadi persoalan kecil yang tidak akan dibahas panjang lebar dalam kesempatan ini karena masih banyak persoalan penting yang perlu diuraikan.
Berbicara dengan tema sentral seputar seni budaya memang sangat luas cakupannya. Baik seni budaya yang berkarakter nusantara maupun lokalan. Wajar saja hal tersebut menjadi menarik jika diperdebatkan atau hanya sekedar diperbincangkan untuk menambah koleksi ragam pemikiran agar lebih berwarna dalam memahami betapa indah dan beragamnya seni budaya yang diwariskan kepada bangsa ini.
Semua orang pun tahu, bahkan dunia pun mengakui bahwa Indonesia merupaka salah satu negara yang didalamnya terkandung bermacam-macam seni budaya. Sebagai bangsa yang bersyukur kita dituntut bangga atas keberagaman tersebut sekaligus dituntut untuk berperan aktif dalam mempertahankan jati diri dan identitas budaya nusantara yang tersebar secara merata disetiap daerah di Indonesia. Bukan perkara mudah memang dalam mempertahankan corak keaslian seni budaya Indonesia, terlebih dengan adanya serangan budaya lain yang dibawa oleh modernisme kaum industrialis dan globalisasi. Belum lagi kesadaran masyarakat untuk menjaga budaya lokal sekarang ini masih terbilang memprihatinkan. Masyarakat lebih memilih budaya asing yang lebih praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini bukan berarti budaya lokal tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi banyak budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Sebenarnya budaya lokal dapat di sesuaikan dengan perkembangan zaman, asalkan masih tidak meningalkan ciri khas dari budaya tersebut.
Namun seiring berkembangnya zaman, kebudayaan di Indonesia mulai luntur. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya teknologi yang mempunyai dampak negatif terhadap kebudayaan Indonesia. Dengan banyaknya media elektronik kebudayaan barat mulai mengubah pola pikir masyarakat Indonesia. Karena pola pikir masyarakat Indonesia yang masih rendah, mereka dengan mudah mengikuti budaya barat tanpa adanya filtrasi. Sehingga mereka cenderung melupakan kebudayaanya sendiri.
Dalam konteks Jepara pun tak ada bedanya dalam perannya ikut serta mempertahankan eksistensi budaya lokal yang tersebar disegala sudut kota pesisir tersebut. Dalam rangka menentukan maju mundurnya seni budaya Jepara, adalah sebuah tantangan berat yang harus segera dijawab oleh Dewan Kesenian Daerah (DKD) Jepara secarak kolektif yang pada hari senin, 24 Juni 2013 resmi dilantik untuk menata kembali seni budaya yang dirasa selama ini telah mengalami kehilangan identitas budaya asli Jepara yang identik dengan budaya agraris dan pesisir jika dilihat dari segi geografis kedaerahan.
Dengan berbekal tiga doktor dan dukungan banyak akademisi aktor inteletual dengan berbagai gelar kesarjanaannya sebagai pengurus, tidak heran jika masyarakat Jepara merasa optimistis kedepannya seni budaya Jepara akan mengalami peningkatan signifikan dan mampu tumbuh berkompetisi untuk menampilkan ragam budaya yang kemudian mewakili nama baik bumi kartini. Namun sebagai masyarakat yang sudah mampu bersikap atas dinamika kebudayaan Jepara, kita tidak boleh kemudian terlena dengan optimisme yang belum ada hasil tersebut, akan tetapi ikut serta dalam mengembangkan, nguri-nguri apa yang menjadi titik poin kebudayaan Jepara.
Disamping optimisme tinggi tersebut alangkah lebih bijaknya jika kita juga memahami segala bentuk batu sandungan yang menjadi kendala berbentuk penyakit sosial dalam mengembangkan kebudayaan Jepara. Kiranya penting untuk menjadi perenungan bersama apa yang telah disampaikan oleh sekda Jepara, ir. Sholih berkaitan dengan penyakit organisasi yang  dilakukan secara berjamaah oleh anggotanya. Penyakit yang dimaksud adalah menyalahgunakan wewenang organisasi yang dilakukan oleh kelompok orang tertentu atau individu demi kepentingan politik. Untuk menghindari hal tersebut yang harus dilakuka oleh DKD Jepara adalah tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu, terlebih ditahun politik 2014.


Selain kepentingan pribadi, kendala lain adalah tidak adanya minat kaum muda dalam partisipasi mengembangkan kebudayaan lokal Jepara. Fenomena seperti ini tentu bukan tanpa sebab. Ada tiga sebab kenapa hal tersebut terjadi, pertama: pemuda Jepara belum mengerti dan memahami secara betul kondisi atau keberagamaan kebudayaan Jepara, maka yang timbul hanya budaya apatisme dan pragmatisme kebudayaan. Kedua, peran pelaku seni budaya belum secara maksimal dalam mengkampanyekan kebudayaan lokal Jepara, meskipun pada kenyataannya perwujudan dari kebudayaan Jepara sangat beragam, namun tanpa diikuti peran aktif dalam memamerkan (show art) dengan didorong oleh sajian yang inovatif, menarik dan kreatif maka kampanye kebudayaan yang diselenggarakan oleh pelaku budaya maupun DKD Jepara akan tetap hambar, membosankan dan akan tetap ditinggalkan oleh kaum muda Jepara. Ketiga, globalisasi yang mengakibatktan modernisasi budaya. Pada kenyataannya modernisasi justru dapat merubah sistem, nilai-nilai, dan tradisi tradisional yang dapat mengggerus kepribadian identitas budaya lokal. Masuknya budaya asing menjadi tantangan tersendiri agar budaya lokal tetap terjaga. Dalam hal ini, peran budaya lokal diperlukan sebagai penyeimbang di tengah perkembangan zaman. Perubahan budaya dan arus globalisasi mengakibatkan beberapa budaya tersingkirkan. Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social merupakan salah satu dampak dari adanya globalisasi.
Dengan mengusung tema “bersama melestarikan & mengembangkan hasanah seni budaya Jepara” tentu dalam penafsirannya terselip segudang harapan yang ingin dibangun oleh segenap pengurus DKD Jepara untuk menjawab tuntutan masyarakat. Sudah saatnya masyarakat tidak lagi hanya mejadi penonton namun melangkah menjadi pelaku budaya agar pengakuan sebagai pelaku seni tidak hanya melekat pada diri selebriti namun pada masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh budayawan senior, Ahmad Tohari dalam orasi ilmiah. Untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap seni budaya juga perlu adanya langkah-langkah strategis yang dimotori oleh Pemerintah Daerah, DKD  dan masyarakat Japara. Diantaranya adalah penambahan pos anggaran yang cukup oleh pemerintah daerah untuk mengembangkan seni budaya, adanya koordinasi yang intensif dengan cabang-cabang kesenian daerah tingkat desa maupun kecamatan, pendampingan secara intensif, adil dan merata terhadap sanggar seni yang mulai dirintis oleh pegiat seni, dan memanfaatkan kantor-kantor pemerintahan desa, kecamatan maupun kabupaten sebagai tempat untuk mengaktualisasikan dan mengekspresikan hasil karya seni budaya agar tidak menjadi tempat yang angker dan sakral bagi masyarakat umum.
Adanya segala bentuk batu sandungan yang kian rumit menjamur yang mengancam kelestarian budaya lokal Indonesia merupakan tantangan nyata pelaku seni budaya yang tidak dapat lagi dihindarkan. Legitimasi kearifan budaya lokal semakin hari kian tergerus oleh individualisme dan arogansi  para seniman-cendekiawan yang tidak bertanggungjawab atas keluhuran seni budaya lokal. Namun dengan adanya kendala logis tersebut perlu kiranya pelaku seni budaya –terlebih DKD Jepara- harus mempunyai kepercayaan diri sebagai modal mendasar untuk mempertahankan identitas kepribadian budaya lokal Jepara maupun nusantara. Terlebih lagi arah gerakan dari DKD Jepara pun belum begitu dibilang cakap dalam meraih prestasi dan ngopeni kesenian Jepara.


0 komentar:

Posting Komentar