PMII 'anti' KRITIK??


Terdapat fenomena yang sangat mengagetkan sekaligus memprihatinkan jika kita melihat terjadinya aksi demonstransi yang dilakukan oleh aktivis PMII dari Rembang, Pati, Kudus, Demak, dan Jepara yg tergabung dalam aliansi PMII Pantura Raya. Dengan semangat berapi-api yang penuh dengan gugatan dan tuntutan yang ditujukan pada Bupati Rembang, Much. Salim dengan menggelar aksi blokade jalan pantura di depan gedung Pemkab Rembang pada hari Senin, 3 Mei 2013 lalu.
Mengapa kemudian dalam artikel ini menggunakan bahasa “mengagetkan” dan “meprihatinkan” ? memang sejak awal terjadinya aksi demonstrasi ini sedikit menggelitik hati nurani dan pikiran penulis. Kenapa tidak! Mahasiswa sebagai aktor intelektual yang seharusnya bersikap adil, moderat dan terbuka terhadap segala bentuk fenomena yang terjadi dalam kehidupan sosial justru merasa tersinggung dan menuntut dengan adanya perkataan yang dianggap menyinggung yang dilontarkan oleh seseorang. PMII adalah organisasi ekstra kemahasiswaan tempat berkumpulnya kaum intelektual, namun apakah para aktornya memerankan peran intelektualnya dengan baik dan benar sesuai apa yang diajarkan selama menjadi kader? Melihat raelitas demonstrasi diatas nampaknya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak. Karena memang para pelaku organisasi sekarang merasa terhina dan tidak punya harga diri dengan adanya sindiran tajam yang diterima ketimbang merasa terhina jika mereka tidak mampu mengamlkan ilmu dan mengabdikan dirinya pada masyarakat.

Yang menjadi keprihatinan bersama adalah, mengapa aksi tersebut justru menuntut agar Bupati Rembang (H. Much. Salim) meminta maaf di depan publik karena mengatakan PMII sebagai intelektual pengangguran yang dilontarkan saat Salim memberikan sambutan di bursa kerja yang digelar oleh Magistra Utama dan Plan Rembang pada selasa (SM:28/5). Tuntutan meminta maaf secara terbuka di depan publik bukanlah penyelesaian persoalan yang tepat karena hanya sebatas sebagai pelipur lara dari perasaan yang pernah tersinggung. Toh jika pada kenyataannya Bupati Rembang mau meminta maaf maka yang didapat hanya kepuasan batin tanpa menjawab persoalan sosial  yang sebenarnya mempunyai momentum yang pas dan tepat jika dibawa diseret serta dalam peristiwa tersebut.
Bukankah lebih baik jika aksi demonstrasi tersebut sebagai momentum mempertanyakan dan menuntut balik Bupati Rembang dan jajaran pemerintahannya terkait upaya pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menurunkan angka kemisinan dan pengangguran. Diakui tau tidak penyebab pengangguran juga dikarenakan belum mampunya pemerintah daerah dalam berupaya memciptakan lapangan kerja untuk masyarakat umum terlebih pemberdayaan dengan pemberian ruang-runag kreatif untuk generasi muda yang mempunyai kapasitas intelektual potensial  yang lebih seperti kader-kader PMII. Dalam laporan Sistem Informasi Statistik Pembangunan Daerah Tertinggal prosentase pengangguran Daerah Rembang  tahun 2011 sebesar 8,18 %, dengan prosentase angkatan kerja hanya 0,47  dari 604.899 penduduk.
Menurut hemat saya, tuntutan balik semacam itu merupakan tindakan konkrit yang memunyai orientasi jelas, yaitu ikut serta dalam menyelesaikan atau paling tidak menuntut balik pemerintahan daerah dengan mempertanyakan tanggungjawabnya dalam menciptakan lapangan kerja dan mengatasi pengangguran. Dari pada hanya menuntut adanya permohonan maaf secara terbuka.
Sungguh memprihatinkan memang jika peristiwa semacam itu terulang lagi dikemudian hari tanpa adanya kontrol positif atau evalusi bersama secara menyeluruh. Implikasinya sudah jelas bahwa PMII sebagai orgaisasi ekstra kampus yang didalamnya penuh dengan pemudapemuda potensial, progresif dan mapan secara intelektual yang dituntut berperan aktif dalam mengawal segala issu dan permasalahan sosial dengan cara pandang (paradigm) kritis transformatif namun pada kenyataannya dalam berperilaku justru tidak terima mendapat  kritikan. Jangan sampai kemudian masyarakat menjadi berpaling hati dan meninggalkan ketidakpercayaan terhadap PMII dengan segala kelebihan dan kekurangannya karena kader PMII lebih bersikap anti kritik dan menampilkan diri sebagai sosok yang emosional terhadap berbagai persoalan sosial. Dampak dari anti krtitik sendiri adalah sombong, merasa paling benar, inklisife dan mudah terpancing emosi yang pada akhirnya hanyalah sikap anarkisme yang tak berkesudahan karen yang ada dalam pikirannya hanyalah kebencian yang terus menguasai alam baah sadarnya.
Dari pelajaran atas realitas tersebut maka secepat mungkin sebagai kumpulan orang-orang yang paham akan teorisasi dan langkah organisasi yang harus dilakukan adalah. Pertama, segera mungkin mengevaluasi hasil dari aksi demonstarsi tersebut dalam rangka memperbaiki tingkah laku kader dalam menangkap issu dan permasalahan yang ada dan tentu sebagai bahan refleksi dikemudian hari. Advokasi kader arus bawah (dalam hal ini dalah struktural Rayon) juga perlu mendapatkan perhatian yang serius. Karena dalam kenyataannya seringkali mereka hanya menjadi korban atas kehendak para senior dalam menjalankan aksi demonstrasi. Jika sejak adanya suatu issu yang bergulir ditengah-tengah masyarakat namun dalam pengawalan dan kajiannya tidak matang maka yang terjadi hanyalah ketidakmatangan dalam menentukan arah dan konsep aksi. Jika hal ini terus dilakukan bisa jadi kader yang dikemudian hari merasa sadar akan berpaling menghujat PMII. Hal sepele seperti inilah yang biasanya terabaikan dalam jajaran segenap kader PMII yang dilakukan secara berjamaah.
Kedua, sudah saatnya kader PMII bersadar diri sebagai bentuk instropeksi atas dirinya sendiri sebagai bekal dalam bertnggungjawab atas organisasi yang ditempati, bagaimanapun juga pemikiran, sikap dan arah gerak subyek (dalam hal ini adalah kader) merupakan representasi dari organisasi PMII. Jika kader bertindak tanpa adanya bekal keilmuan yang cakap atau kemampuan yang baik maka organisasilah yang akan mendapatkan imbas atas buruknya perilaku organisasi.
Kesadaran demikain ini haruslah dibangun dan ditanamkan dalam kayakinan kader sejak dini, baik melalui pendidikan formal, informal maupun non-formal (baca: modul kaderisasi PMII Jepara 2009 & 2013). Kesadaran yang kritis dan utuh, sebagaimana ditunjukkan Paulo Freire dalam Malik Haromain (2000), artinya mesti ada kesadaran yang utuh, yang mengacu pada sebuah proses dimana kita bukanlah sebagai objek saja, sebagai partisipan, namun sebagai subyek yang mengetahui dan menyadari secara mendalam realitas sosiokultural (dan politik) yang membentuk kehidupan bangsa. Kesadarn semacam ini jelas lebih sekedar prise de conscince, namun harus dapat menghasilkan solusi bagi setiap kesadaran yang salah arah.
Kiranya dua hal tersebutlah yang semestinya dilakukan dengan waktu sesegera mungkin agar PMII tidak lama-lama terperangkap dalam sesatnya jalan yang dibuatnya sendiri secara sadar. Namun demikian, rasa optimis dan percaya diri perlu kembali diteriakkan dengan lantang  dalam bertindak  sebagai bentuk semangat pengabdian kepada bumi pertiwi.

"Renungku atas PMII, Dedikasiku untuk PMII"

0 komentar:

Posting Komentar