PSIKOLOGI DAKWAH (Tinjauan Persepsi)
Mengingat bermacam – macam
tipe manusia (mad’u) yang dihadapi da’i dan berbagai jenis antara dia dan mereka
serta berbagai kondisi psikologis mereka, setiap da’I yang mengharapkan sejuk
dalam aktivitas dakwahnya harus memperhatikan kondisi psikologis dari mad’u.
Kalau kita perhatikan
perbedaan gaya dakwah nabi sebelum dan
sesudah hijrah, sewaktu di makkah atau pun di madinah tampaknya salah satunya
disebabkan oleh berbedanya keaaan psikologis kelompok – kelompok yang didakwahi.
Muhammad Natsir dalam
bukunya “Fiqh Dakwah” mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan kondisi
psikologis mad’u ini, bahwa: pokok persoalan bagi pembawa dakwah ialah
bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu
golongan tertentu dalam suatu keadaan dan nuansa tertentu.
Selain itu seorang da’i harus memperhatikan kedudukan
social penerima dakwah. Jika seorang da’I mencium adanya sikap memusuhi islam
dalam diri penerima dakwah, maka dengan alas an apapun dia tidak boleh
memperburuk situasi. Dia harus bersikap sebisa – bisaya untuk menghilangkan
sikap permusuhan tersebut[1].
Tidak terlepas dari itu
semua, di dalam makalah kali ini akan dibahas mengenai Pembentukan persepsi
terhadap mad’u, karena memang persepsi sendiri mempunyai peran yang cukup
penting dalam pembentukan mad’u terhadap
pesan yang disampaikan oleh da’I sebelum menjadi sebuah pemahaman yang pada akhirnya di amalkan dalam bentuk
tindakan nyata. Sedangkan dalam proses Persepsi sendiri dibarengi dengan
beberapa factor, diantaranya:
Ø Faktor fungsional
Ø Faktor structural
Ø Faktor Perhatian[2]
Telaah
Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan,
yaitu diterimanya proses stimulus oleh individu melalui alat indera atau
sensoris. Namun proses seperti itu tidak
berhenti begitu saja, melainkan proses stimulus tersebut diteruskan yang
selanjutnya disebut persepsi. Sedangka fungsi indera dalam proses tersebut sebagai
alat penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Branca, 1964; woodworth
dan Marquis, 1957). Stimulus yang di indera kemudian oleh individu di
organisasikan dan diinterpretasiakn sehingga individu mengerti dan memahami
tentang apa yang diindera itu dan proses
ini disebut persepsi.
Persepsi merupakan proses
yang integrated dalam diri individu
terhadap stimulus yang diterimanya (Moskowitz, 1969). Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa persepsi itu merupakan pengorganisasian, penginterpretasikan
terhadap stimulus yang diinderanya sehimgga
merupakan suatu yang berarti dan merupakan respon yang integrated dalam
diri individu. Karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan
stimulu, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek (Branca,
1964). Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan
keadaan diri sendiri, (Davidoff, 1981).[3]
Sedangkan menurut DR. ahmad
Mubarok, MA dalam bukunya Psikologi
Dakwah Persepsi dijelasakn bahwa persepsi adalah proses member makna pada
sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Persepsi juga dapat mengubah sensasi menjadi
informasi, karena itu kekeliruan sensasi juga dapat menyebabkan kekeliruan
persepsi.[4]
Selain pengertian diatas
persepsi juga dapat dipahami sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Persepsi juga memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli).[5]
Faktor Pengaruh Persepsi
Seperti yang telah
dipaparkan, bahwa persepsi individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan
stimulus yang diterimanya, sehingga stimulus mempunyai arti bagi individu yang
bersangjutan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus merupakan factor
yang berperan dalam persepsi. Berkaitan dengan factor – factor yang berperan
dalam persepsi dapat dikemukakan adanya beberapa factor, yaitu[6]:
Menurut David Krech dan Richard S. crutchfield (1977 :
235) menyebutkan ada dua factor dalam pembentukan persepsi’ yaitu: factor
fungsional dan factor structural.
- Faktor Fungsional
Faktor fungsional berasal
dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal –hal lain yang termasuk apa yang
kita sebut sebagai factor – factor personal. Yang menentukan persepsi bukan
jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakterisrik orang yang memberikan respon
pada stimuli itu. Dalam hal ini David Krech dan Richard S. crutchfield
merumuskan beberapa dalil persepsi:
Pertama: persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa
objek – objek yang mendapat tekanan
dalam persepsi kita biasanya objek – objek yang memenuhi tujuan individu yang
melakukan persepsi. Seperti halnya pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana
emosional.
Kedua: Medan perceptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Dalam
hal ini Pengorganisasian stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli
yang diterima tidak lengkap kita datap mengisinya melalui interpretasi yang konsisten denagn rangkaian stimuli yang
kita persepsi.
- Faktor Structural
Faktor – factor structural semata
– mata berasal dari sifat stimuli fisik dan efek – efek saraf yang
ditimbulkannya oleh system saraf individu. Para Psikolog Gestalt, kohler,
wartheimer (1959) dan Koffka , merumuskan persepsi yang bersifat structural,
yang kemudian disebut dengan prinsip Gestalt[7],
menurut teori gestalt yang pertama kali diperkenalkan oleh Max Wertheimer
(1912), bahwa dalam pengamatan atau persepsi , suatu stimulis ditangkap secara
keseluruhan bukan penjumlahan rangsangan – rangsangan kecil[8].
Menurut teori ini apabila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai
suatu keseluruhan.[9]
Ketiga : Sifat – sifat perceptual dan kognitif dari substruktur ditentukan
pada umumnya oleh sifat – sifat struktur secara keseluruhan.
Keempat : Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu menyerupai
satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari strutur yang sama.
Selain kedua factor diatas ada juga factor lain yang
mempengaruhi persepsi, diantaranya adalah:
- Faktor Perhatian
Perhatian adalah proses
mental dimana kesadaran terhadap suatu stimuli lebih menonjol, dan pada saat yang sama terhadap stimuli yang
lain melemah. Sedangkan penarik perhatian sendiri dapat datang dari luar atau
pun dalam.[10]
Pengertian
dan Rumpun Mad’u
Untuk mencapai tujuan
seperti yang dicita - citakan dalam proses dakwah da’I sudah seharusnya
mengetahui tingkatan/rumpun dan memahami pengertian obyek yang akan diberi
pesan dakwah (mad’u).
Mad’u dalam konteks proses
dunia dakwah dapat juga di sebut sebagai obyek atau orang yang menerima pesan
yang disampaikan oleh da’i. Sehingga mad’u pada akhirnya menjalankan apa yang
diperoleh dari da’i.
Sedangkan rumpun mad’u
sendiri bermacam – macam bentuk dan dari latar belakang social, budaya,
ekonomi, politik yang berbeda – beda. Diantaranya:
v
Di
awal surah al-Baqarah, mad’u dikelompokkan menjadi tiga rumpun, yaitu: Mukmin,
Kafir dan Munafiq.
v
Abdul
Karim Zaidan dalam Ushul al - da’wah mengelompokkan mad’u dalam empat rumpun,
yaitu: al - mala’ (penguasa), jumhur al – nas (mayoritas masyarakat), munafiqun
dan ahli maksiat.
v
Sedangkan
secara umum mad’u menurut Imam Habib Abdullah Haddad dapat dikelompokkan dalam
delapan rumpun, yaitu: Para Ulama’, Ahli zuhud dan ahli ibadah, Penguasa dan
pemerintah, ahli perniagaan, industry, fakir miskin dan orang lemah, anak,
istri dan kaum hamba, orang awam yang taat dan maksiat, orang yang tidak
beriman pada allah dan RasulNya.[11]
Pembentukan
Persepsi Terhadap Mad’u
Salah satu dakwah yang
efektif adalah apabila hubungan baik antara da’I dan mad’u (hubungan
interpersonal atau hubungan batin) semakin meningkat. Kedekatan hubungan antara
kedua belah pihat tersebut beleh jadi terjadi secara alamiah Karen bertemunya
dua unsure yang saling membutuhkan dan saling mendukung, tetapi bias juga
merupakan buah dari kerja dakwah yang efektif, yakni melalui usaha keras dan
lama.
Seperti halnya dengan
terjadinya proses persepsi dalam diri mad’u terhadap pesan dakwah yang
diberikan oleh da’I melalui indera, karena memang fungsi indera dalam proses
tersebut sebagai alat penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Stimulus
(dalam hal ini adalah pesan dakwah yang disampaikan da’i) yang berada di indera
kemudian oleh individu di organisasikan dan diinterpretasiakn sehingga individu
mengerti dan memahami tentang apa yang ada
di indera kemudian menjadi sesuatu yang berarti.
Faktor Pembentukan Persepsi Mad’u
Manusia merupakan mahluk
yang berfikir dan merasa, maka dalam dalam mempersepsi orang lain pikiran dan
perasaan orang bekerja, yaitu menangkap stimuli dan mengolahnya menjadi
informasi (persepsi). Sekurang – kurangnya ada dua hal yang
mempengaruhi/membentuk persepsi terhadap mad’u, yaitu: factor situasional dan
personal.
1.
Faktor
Situasional
Dalam factor situasional ini sendiri dapat dipahami
dengan melihat situasi yang ada dalam diri mad’u, misalkan:
Ø
Cara
menyebut sifat
Ø
Gerakan
mad’u
Ø
Petunjuk
wajah
Ø
Cara
mengucapakan lambing – lambing verbal
Ø
Penampilan
Ø
Jarak
mad’u dengan lingkungan
2.
Faktor
Personal
Adapun Faktor Personal dalam hal ini dibagi menjadi
dua, yaitu: pengalaman dan konsep diri.
Ø
Pengalaman
: Persepsi dalam hal ini mengacu pada pengalaman seseorang dengan orang lain.
Ø
Konsep
Diri adalah pandangan dan perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep
diri ini sendiri dapat bersifat fisik, psikologis maupun social.[12]
Komunikasi Da’i Mad’u (Komunikan)
Da’i sebagai komunikator sudah barang tentu usahanya
tudak hanya terbatas pada usahanya tidak hanya terbatas pada usaha menyampaikan
pesan (state ment of fact) semata-mata tetapi dia juga harus concern terhadap
kelanjutan efek komunikasinya terhadap komunikan, apakah pesan-pesan dakwah
tersebut sudah cukup membangkitkan rangsangan /dorongan bagi komunikasi
tertentu sesuai dengan apa yang di harapkan, ataukah konunikan tetap pasif (mendengar
tetapi tidak mau melaksanakan) atau bahkan menolak serta anti pati dan apatis
terhadap pesan tersebut.
Di dalam al Qur’an surah al –Ahzab ayat 70 terdapat
se buah isyarat bahwa pesona da’i saja tidak cukup untuk menghantarkan pada
peluang keberhasilan dakwah tanpa di barengi keahlian dalam mengemas pesan
dakwah menjadi menarik dan dapat di pahami oleh mad’u manakala di sampaikan
sesuai dengan cara berpikir dan cara merasa Mad’u lebih tepatnya da’i selalakuu
komunikator harus mampu melogikakan pesan dakwah dengan bahasa yang mudah di
pahami sehingga mempunyai daya panggil yang sangat berwibawa terhadap
seseorang.
Kekuatan kata-kata (atau tulisan) dalam
kaitannya dengan bahasa dakwah yang persuasif, yakni kata-kata yang menjadi
stimulus yang merangsang respon psikologis mad’u terletak pada
jenis-jenis kekuatan sebagai: Karena keindahan bahasa seperti bait-bait
syair atau puisi, Karena jelasnya informasi, Karena intonasi suara yang
berwibawa, Karena logikanya yang sangat kuat, Karena memberikan
harapan / optimisme (Basyiran), Karena memberikan peringatan yang mencekam
(Nadziran), Karena ungkapan yang penuh dengan ibarat.
Secara psikologis, Bahasa mempunyai peran yang sangat
besar dalam mengendalikan ataupun merubah tingkah laku manusia. Bahasa ibarat
remote control yang dapat mengendalikan manusia menjadi tertawa, sedih, marah,
lunglai, semangat, dan sebagainya. Bahasa juga dapat digunakan untuk memasukkan
gagasan baru kedalam pikiran manusia.
[1]
M. Munir, S.Ag, MA Metode
Dakwah. Hal.58 - 59
[2]
DR. Ahmad Mubarok, MA
Psikologi Dakwah, hal 110
[3]
Prof. Dr. Bimo Walgito,
Pengantar Psikologi Umum, hal.87 - 88
[4]
DR. Ahmad Mubarok, MA
Psikologi Dakwah, hal 109
[5]
DRS. Jalaluddin Rahmat, M. Sc.
Psikologi Komunikasi, hal.51
[6]
Opcit, hal. 89
[7]
Kata Gestalt berasal
dari jerman yang diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi from atau configuration
(bentuk)
[8]
Opcit hal. 114
[9]
Ibid hal.56 - 59
[10]
DR. Ahmad Mubarok, MA
Psikologi Dakwah, hal 110
0 komentar:
Posting Komentar