MELURUSKAN PARADIGMA MASYARAKAT TERHADAP FAKULTAS DAKWAH (KPI)


Sekapur Sirih Realitas Dakwah
Alfin Toffler penulis buku ”the third wave” secara ringkas membagi fase kehidupan ini yang benar-benar berbeda dengan pemetaan yang lazimnya dilakukan para sejarawan. Menurut Toffler paling tidak pada tiga tahapan gelombang yang telah dilalui dalam kehidupan ini, yaitu gelombang pertama bersifat agrikultural; gelombang kedua bersifat industrial; dan gelombang ketiga bersifat teknologikal. Apa yang disebut Toffler dengan gelombang ketiga ini benar-benar semakin nyata dalam kehidupan kita sebab kehidupan kontemporer benar-benar telah memasuki “zona mabuk teknologi” meminjam istilah John Nasibitt. Artinya, hampir dapat dipastikan tidak ada lagi sisi kehidupan ini yang tidak sepenuhnya tergantung pada kekuatan teknologi sebagai media teknisnya.
Kenyataan yang demikian tentu saja telah memaksa kita umat Islam untuk berpikir ulang tentang masa depan kehidupan kita, terutama yang berkaitan langsung dengan aspek dakwah yang merupakan ”denyut nadi” dari Islam itu sendiri. Apakah konsep dakwah kita selama ini mampu melawan atau paling tidak mengimbangi kemajuan tersebut, atau malah disebabkan ketidak mampuan kitalah untuk menyeimbangkan kemajuan ini yang menyebabkan dakwah kita hampir dapat disebut tidak memberi makna sama sekali bagi kehidupan. Jika demikian, tentu saja ada yang bermasalah dalam teknis dakwah kita, apakah para da’i-da’i kita alpa untuk melaksanakan tugasnya?
Dalam kaitan ini, nampaknya teknis pelaksanaan dakwah kitalah yang bermasalah sebab ada kecenderung bahwa pelaksanaan dakwah kita masih dilakukan secara tradisional, yaitu dakwah hanya terikat pada pemaknaan oral semata. Padahal sesungguhnya kalau kita merujuk pada makna asal dakwah itu lebih luas lagi. Bahkan menyentuh segala aspek kultural dalam kehidupan ini. Untuk itulah, tentu saja adalah sesuatu yang relevan sekali untuk mengembangkan makna dakwah ini, dari yang tradisional bersifat oral menuju dakwah kultural yang dalam hal ini adalah kemajuan teknologi sebagai media utama dakwah tersebut dijalankan. Tanpa itu dakwah kita tidak akan pernah berarti banyak dalam kehidupan kontemporer.
Dari faktor-faktor tersebut, agar problematika dakwah tidak semakin kusut dan berlarut-larut, perlu segera dicarikan jalan keluar dari kemelut persoalan yang dihadapi itu. Dalam konsep pemikiran yang praktis, Prof. Dr. H. M. Amien Rais,MA. dalam bukunya Moralitas Politik Muhammadiyah, menawarkan lima ‘Pekerjaan Rumah’ yang perlu diselesaikan, agar dakwah Islam di era informasi sekarang tetap relevan, efektif, dan produktif.
Pertama, perlu ada pengkaderan yang serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah, melainkan diperlukan pula berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir.
Kedua, setiap organisasi Islam yang berminat dalam tugas-tugas dakwah perlu membangun laboratorium dakwah. Dari hasil “Labda” ini akan dapat diketahui masalah-masalah riil di lapangan, agar jelas apa yang akan dilakukan.
Ketiga, proses dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwah bil-hal, bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah (dalam arti politik), bil-iqtishadiyah (ekonomi), dan sebagainya. Yang jelas, actions,speak louder than word.
Keempat, media massa cetak dan terutama media elektronik harus dipikirkan sekarang juga. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. Bila udara Indonesia di masa depan dipenuhi oleh pesan-pesan agama lain dan sepi dari pesan-pesan Islami, maka sudah tentu keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi peningkatan dakwah Islam di tanah air.
Kelima, merebut remaja Indonesia adalah tugas dakwah Islam jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset yang tak ternilai. Mereka wajib di selamatkan dari pengikisan aqidah yang terjadi akibat ‘invasi’ nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam di Indonesia. Bila anak-anak dan remaja memiliki benteng tangguh (al-hususn al-hamidiyyah) dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini, tentu masa  depan dakwah kita akan tetap ceria.
Menyimak uraian-uraian di atas, dapat diprediksi bahwa missi dan tantangan dakwah tidaklah pernah akan semakin ringan, melainkan akan semakin berat dan hebat bahkan semakin kompleks dan melelehkan. Inilah problematika dakwah kita masa kini. Oleh sebab itu semuanya harus dimenej kembali dengan manajemen dakwah yang profesional dan dihendel oleh tenaga-tenaga berdedikasi tinggi, mau berkorban dan ikhlas beramal.

Realitas atas Fakultas Dakwah saat ini
Dewasa ini popularitas fakultas dakwah telah mengalami degradais kemerosotan yang luar biasa dari segi kualitas, kuantitas terlebih krisis  kepercayaan di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai alasan yang muncul. Sehingga hal tersebut mempengaruhi minat calon mahasiswa dalam setiap tahun yang  berimbas terhadap beban biaya proses akademik yang ditanggung fakultas.  Meskipun sebenarnya hal ini dirasakan juga oleh semua lembaga perguruan tinggi yang sama di Indonesia.
Kemerosotan-kemerosotan tersebut dilator belakangi oleh beberapa faktor yang timbul dari internal maupun eksternal fakultas dakwah. Factor internal misalkan dapat diketahui dari kesalah pemahaman oleh mahasiswa, pimpinan sampai pada civitas akademika secara luas dalam memahami fakultas dakwah prodi   KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam). Kesalah pemahaman factor internal ini terlihat dari kurikulum, kebijakan, maupun corak pemikiran pimpinan dan mahasiswa yang hanya berorientasi dan terpaku pada kegiatan dakwah secara lisan atau mimbar.
Factor eksternal dapat diketahui dengan adanya  pemahaman masyarakat dalam memandang  fakultas dakwah prodi KPI sebagai  suatu lembaga yang hanya mampu pencetak da’i  oral, yang notabene hanya berorientasi sebatas pada metode ceramah saja, atau dakwah dengan lisan [bil-lisan], padahal ranah kajian fakultas dakwah tidak sesempit itu. Melainkan dakwah dapat dilakukan dengan berbagai metode, seperti: dengan tangan [bilyadi], Metode dakwah dengan hati [bil-qolb], Metode bil uswatun hasanah, dakwah Bil qolam, dakwah Bil nikah, dakwah Bil maal dll yang orientasinya dapat berkecimpung didalam berbagai profesi dari jurnalistik, brodcasting sampai hal-hal yang berkaitan erat dengan media massa dan ilmu komunikasi, terlebih di era globalisasi seperti saat ini.
Berangkat dari kesalah pemahaman tersebut, sudah selayaknya di era globalisasi yang penuh dinamika kehidupan dan tantangan ini, sebagai kaum intelektual yang mempunyai tanggungjawab penuh atas maju mundurnya dakwah Islam sudah menjadi keharusan untuk membuka diri terhadap kemajuan yang mengiringi segala segi kehidupan kita yang pada konteks hal ini adalah meluruskan paradigma masyarakat terhadap Fakultas Dakwah agar tidak dipahami secara dangkal dan sempit.
Upaya-upaya tersebut merupakan ikhtiyar mahasiswa dalam rangka meluruskan paradigma pemahaman dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Fakultas Dakwah yang sekiranya salama ini mulai pudar dan hilang kerana Fakultas Dakwah dianggap tidak mempunyai kontribusi dan orientasi yang jelas  terhadap masyarakat secara umum.


Aniefy Jr Copr (PP. Biro Keilmuan Forkomnas KPI)

0 komentar:

Posting Komentar